PAPER PRAKTIKUM BIOMETRIKA HUTAN Kelompok 1 (Senin) DOSEN Dr. Ir. Budi Kuncahyo >> Tema : Model Pengelolaan Hutan Rakyat Agroforestry dalam Mengatasi Kemiskinan
MK. Biometrika Hutan Tangal
: 20 Desember 2014
Kelas Praktikum : Senin (13.00 –
16.00) Kelompok : 1
Model Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Agroforestry Dalam Mengatasi Kemiskinan Dengan Sistem Bagi Hasil
(Studi Kasus : Desa Cileuya, Kecamatan Cimahi,
Kabupaten Kuningan)
Disusun
Oleh
1.
Muhammad
Khoirul Mufid E14110115
2.
Ditia
Andini E14110047
3.
Desi
Hermawati E14110061
4.
Ren
Giat Bagus Permana E14110079
5.
Bernard
Juliando E14110091
Dosen :
Dr. Ir.
Budi Kuncahyo, MS
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
PENDAHULUAN (file asli unduh disini)
Latar
Belakang
Pembangunan ekonomi yang
pesat dan disertai laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dari tahun ke
tahun selalu dihadapkan pada berbagai permasalahan, diantaranya adalah dalam
hal pemanfaatan lahan dan tingkat pendapatan penduduk, terutama bagi masyarakat
desa sekitar hutan, yang sangat menggantungkan hidupnya pada kawasan hutan.
Indonesia memiliki areal hutan yang luas dan hasil hutan yang cukup banyak,
tetapi masih banyak masyarakat sekitar hutan yang hidup dalam kemiskinan.
Krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia sebagai pemicu masyarakat
dalam mengeksploitasi sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Fenomena negatif yang sering terlihat adalah adanya
penebangan secara liar, yang mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan. Hal ini
menimbulkan kerusakan hutan yang semakin berat.
Paradigma baru dari
pembangunan hutan yang melibatkan seluruh pihak, secara langsung atau tidak
langsung merupakan harapan baru untuk memecahkan masalah dan menghindari
kegagalan dari pembangunan. Peranan pihak dalam sistem agroforestry berfungsi
agar pengelolaan berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan bagi pihak yang
berkepentingan. Pihak yang terlibat terutama dari hal pembagian hasil
pengelolaan agroforestry antara pihak masyarakat dan pihak perhutani. Pembagian
hasil harus sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak agar terjadi
keseimbangan antar pihak yang bersangkutan dan menghindari konflik yang bisa
terjadi karena ketidakseimbangan dalam pembagian hasil. Untuk itu, pemodelan
yang dilakukan dalam penelitian ini menyajikan system bagi hasil antara pihak
masyarakat dan pihak perhutani. Kasus penjarahan ini berada di Desa
Cileuya, Kabupaten Kuningan.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Menyajikan model pengelolaan dan sistem bagi
hasil kerjasama Perhutani dan Masyarakat dengan PHBM Agroforestry.
2. Mengetahui format bagi hasil yang ideal bagi
pihak masyarakat dan pihak perhutani
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
TINJAUAN PUSTAKA (file asli unduh disini)
Nair
(1989b) mendefinisikan agroforestry sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri
dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup, dalam
satu kesatuan kehutanan dan agronomis. Tujuannya adalah untuk memaksimumkan
produksi dalam jangka panjang. Hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua
komponen tersebut yaitu tanaman pohon dan non pohon (sekurang-kurangnya pakan
ternak).
Keragaman
sistem agroforestry dapat dikelompokkan kedalam empat dasar utama (Nair 1989b;
Chundawat dan Gautam 1993) yaitu (1) berdasarkan strukturnya (structural basis)
yang berarti penggolongan sistem agroforestry dilihat dari komposisi komponen
penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan dan/atau ternak); (2) berdasarkan
fungsinya (functional basis), penggolongan system agroforestry ditinjau dari
fungsinya seperti fungsi produksi dan fungsi proteksi atau perlindungan; (3)
berdasarkan sosial ekonominya (socioeconomic basis) yang ditinjau dari segi
tingkat pengelolaan dan tujuan komersialnya, serta (4) berdasarkan ekologisnya (ecological
basis) yang didasarkan pada kondisi ekologis tempat atau lokasi sistem
agroforestry diterapkan atau ditemukan.
Kebaikan
penerapan sistem agroforestry dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis
atau lingkungan, keuntungan secara ekonomis, dan keuntungan secara sosial.
Keuntungan sistem agroforestry secara ekologis dapat berupa (Nair 1989;
Chundawat dan Gautam 1993) : (a)
pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b)
lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari lapisan bawah
solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang
dalam; (c) penurunan dan pengendalian laju aliran permukaan, pencucian hara,
dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur
tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah
oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) terciptanya kondisi yang
menguntungkan bagi peningkatan/pemeliharaan populasi dan aktivitas organisme
tanah.
Secara
ekonomis, sistem agroforestry sangat menguntungkan terutama dalam hal (Nair
1989c; Chundawat dan Gautam 1993) : (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih
bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu,
bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan
panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen masih dapat
diitutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya
pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang
berkelanjutan.
Keuntungan
secara sosial dari diterapkannya sistem agroforestry adalah (Chundawat dan
Gautam 1993) : (a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan
berkelanjutan pekerjaan dan pendapatan; (b) terpeliharanya sumber pangan dan
tingkat kesehatan masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk
pangan, gizi dan papan; dan (c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan
pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi.
Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu program dari Perum Perhutani yang
gagasannya di lansir pertama kali pada tahun 1999. Mengikuti program serupa di
Nepal yakni Joint Forest Management (JFM). Program PHBM ini bermaksud untuk
meningkatkan hubungan yang harmonis antara pengelola hutan (Perhutani) dengan
masyarakat di sekitarnya dengan cara berbagi kewenangan dan berbagi hasil
pengelolaan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Tujuan
di laksanakan program PHBM adalah : (1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
lokal dan melepaskan dari kemiskinan, membangun pemupukan modal masyarakat.
(2) Meningkatkan kemampuan teknologi dan manajemen organisasi masyarakat
lokal dalam melaksanakan PHBM. (3) Membangun PHBM secara struktural, sehingga
PHBM menjadi salah satu andalan usaha rakyat. (4) Meningkatkan
keanekaragaman jenis usaha dan jenis hasil yang lebih unggul dan tahan terhadap
gejolak ekonomi. (5) Meningkatkan sediaan sumberdaya kehutanan bagi
pengembangan sector kehutanan yang lebih luas. Ini terbentuk sebagai hasil
akhir dari keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat.
Pada
umumnya masyarakat yang tergabung dalam program pengelolaan hutan yang di
lakukan oleh Perum Perhutani adalah kelompok masyarakat yang tidak mempunyai
lahan. Menurut Kartasubrata (1986) kepemilikan lahan yang ada dalam rumah
tangga masyarakat pedesaan terbagi menjadi empat lapisan. Lapisan pertama yaitu
rumah tangga yang memiliki lahan kurang dari 0,10 Ha atau tidak berlahan,
lapisan kedua yaitu rumah tangga yang memiliki lahan antara 0,11Ha sampai 0,25
Ha, Lapisan ketiga yaitu rumah tangga yang memiliki lahan antara 0,26 Ha sampai
0,5 Ha dan lapisan terakhir yaitu rumah tangga yang memiliki lahan lebih dari
0,50 Ha.
METODOLOGI (file asli unduh disini)
Waktu dan Tempat
Praktikum
Bometrika Hutan dengan sub bahasan pembangunan simulasi pemodelan di bidang
Kehutanan dilakukan pada hari Senin 8 Desember 2014 pukul 13.00 – 16.00 WIB
yang bertempat di Ruang Kuliah Node X 302 Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Alat dan
Bahan
Alat
yang digunakan pada praktikum ini adalah komputer (laptop) dengan software
Stella 9.02, program Microsoft Word dan Excel, dan alat tulis yang
digunakan dalam perancangan model. Sedangkan bahan yang digunakan adalah data
sekunder hasil penelitian yang terdapat di Jurnal Manajemen Hutan Tropika
terkait Format Sistem Bagi Hasil Dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Dengan Sistem Agroforestry yang telah dilakukan oleh Hany Noorvitastri dan
Nurheni Wijayanto pada tahun 2003 di Desa Cileunya, Kabupaten Kuningan Provinsi
Jawa Barat.
Metode
Praktikum
Pembuatan
model ini dilakukan dengan beberapa tahapan diantaranya adalah sebagai berikut
:
1.
Penentuan
topik, isu, tujuan, dan batasan dari pemodelan yang akan dibuat, yaitu Format
Sistem Bagi Hasil Dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Dengan Sistem
Agroforestry.
2.
Pengumpulan
data sekunder terkait Format Sistem Bagi Hasil, Pengelolaan hutan Bersama
Masyarakat, dan Sistem Agroforestry.
3.
Melakukan
identifikasi variable Format Sistem Bagi Hasil Dalam Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat Dengan Sistem Agroforestry yang berperan dalam yang akan berpengaruh
terhadap model yang akan dibuat.
4.
Melakukan
pengolahan data mentah data sekunder yang berhubungan dengan pemodelan yang
dibuat.
5.
Membuat
model dinamika Format Sistem Bagi Hasil Dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Dengan Sistem Agroforestry.
6.
Melakukan
analisis terhadap model yang dibuat.
7.
Melakukan
evaluasi terhadap model yang dibuat.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Formulasi Model
Batasan Sistem
Setelah dilakukan
pemodelan terhadap Format Sistem Bagi Hasil Dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Dengan Sistem Agroforestry. Adapun batasan yang digunakan dalam pemodelan ini
adalah sebagai berikut :
1.
Lahan
yang digunakan adalah lahan milik negara yang sesuai perizinan dapat digunakan
oleh masyarakat.
2.
Sistem
bagi hasil yang ditetapkan adalah sebesar 80% (untuk Perhutani) : 20% (untuk
masyarakat) di tanaman pokok dan 20% (untuk Perhutani) : 80% (untuk masyarakat)
di tanaman sela.
HASIL
DAN PEMBAHASAN (file asli unduh disini)
Konseptual
Model
Model pengelolaan
hutan agroforestry di Desa Cileuya, Kecamatan Cimahi, Kabupaten Kuningan ini
dapat dilihat dari konseptual model. Menurut Purnomo (2012) konseptual model
ini digunakan agar mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai model yang
akan dibuat. Konseptual model pada pengelolaan hutan agroforestry di Desa
Cileuya antara Perhutani dengan Masyarakat bisa dilihat pada gambar sebagai
berikut:
Kegiatan
pengelolaan argroforestry di Desa Cileuya ini dengan sistem PHBM (Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat) yang meliputi berbagai pemanfaatan lahan atau ruang, berbagi
pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling
menguntungkan dan saling mendukung antara Perhutani dan Masyarakat atau dengan
kata lain sistem pengelolaan hutan agroforestry di Desa Cileuya sistem
kolabaratif antara dua pihak. Penjelasan dari gambar diatas ialah Perhutani dan
Masyarakat bekerjasama atau berkolaborasi melakukan pengelolaan agroforestry
dengan komposisi pada lahan agroforestry antara lain tumpang sari, tanaman
tahunan dan tanaman pokok dengan jenis tanaman pada tumpang sari ialah palawija
dan pada tanaman tahunan antara lain petai, mangga dan pisang sedangkan yang
menjadi fokus ada paper ini ialah pengelolaan PHBM pada tanaman pokok dengan
satu jenis tanaman pokok yaitu Jati (Tectona
grandis) dan sistem bagi hasil yang akan dijelaskan pada bab sistem bagi
hasil.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Model
Biaya Pengelolaan Masyarakat dan Perhutani
Biaya
pengelolaan yang dikeluarkan masyarakat anatara lain biaya meliputi biaya
tenaga kerja, biaya pengadaan bibit, biaya pengadaan pupuk dan biaya peralatan
yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Komponen
biaya pengelolaan tanaman dihitung sejak mulai pembukaan lahan yang membutuhkan
tenaga kerja banyak. Dari komponen diatas biaya tenaga kerja menempati porsi
terbesar dengan cara melihat berdasarkan HOKnya. Sedangkan untuk pembelian
bibit padi kering, bibit kacang dan pupuk untuk tanaman tumpang sari saja. Pada
tahun ke-1 dan tahun ke-2 untuk keperluan mengelola tanaman tahunan dan tanaman
tumpang sari serta tanaman tahunan sama dengan biaya tahun ke – 0, akan tetapi
biaya untuk tenaga kerja yang dikeluarkan tak sebanyak pada pada pembukaan lahan.
Untuk tahun-tahun selanjutnya biaya yang dikeluarkan ialah biaya pemeliharaan.
Untuk biaya peralatan dikenakan untuk penggantian terhadap alat alat-alat
sesuai dengan umur ekonomis alatnya, pada umumnya alat memiliki umur ekonomis
selama lima tahun. Sedangkan pada tanaman tahunan
Sedangkan
untuk biaya yang dikeluarkan oleh Perhutani dalam pengelolaan agroforestry ini
dapat dilihat sebagai berikut :
Biaya
Perhutani antara lain pengadaan sarana dan prasarana, biaya perencanaan, biaya
penjarangan, biaya pengadaan bibit dan pengangkutan bibit Jati, biaya pemasaran
hasil hutan, biaya persiapan lahan, biaya pemanenan dan pajak tanah. Biaya
pengelolaan Perhutani lebih fokus pada biaya yang dikeluarkan untuk tanaman
pokok dalam hal ini Jati. Penjelasan dari beberapa biaya Perhutani antara lain
biaya perencanaan sebesar Rp 8 Juta, Biaya pajak tanah Rp 79.000/tahun, biaya
pemanenan dan pemasaran hasil penjarangan Rp 13.739.200 dan pada pemanenan
ialah Rp 26.909.300.
Dinamika Tegakan Jati
Dinamika
tegakan ini menggambarkan aliran materi berupa jumlah pohon yang ditanam pada
lahan, jarak tanam dan lain sebagainya. Dinamika tegakan pada pengelolaan
agroforestry ini fokus pada tanaman pokok saja dengan gambar sebagai berikut :
Luas lahan
yang digunakan ialah seluas 1 Ha dengan jarak tanam tanaman pokok 6m x 2m dan
daur pada penjarangan ialah 10 tahun dan daur pada pemanenan ialah 15 tahun.
Pada panen penjarangan pohon jati terdapat 220 pohon yang dijarangi dengan
rata-rata volume pohon 0,34 /pohon dan pada pemanenan
jumlah pohon panen ialah 323 pohon dengan rata-rata volume ialah 0,77 /pohon. Grafik
stock bisa dilihat sebagai berikut :
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Sistem
Bagi Hasil
Sistem
bagi hasil pada pengelolaan hutan agroforestry ialah sebagai berikut, pada
tanaman tumpang sari hasil 100% didapatkan oleh masyarakat, pada tanaman
tahunan hasil 80% untuk masyarakat dan 20% untuk Perhutani sedangkan pada
tanaman pokok kebalikan dari bagi hasil tanaman tahunan, hasil panen pada
tanaman pokok 20% untuk masyarakat dan 80% untuk Perhutani. Sistem bagi hasil
dapat dilihat pada gambar berikut :
Harga kayu
/ ialah Rp 1.200.000 untuk hasil penjarangan dan
Rp 3.000.000 untuk hasil pemanenan dengan pengeluaran pada tahun ke-10 untuk
PSDH Penjarangan Rp 3.648.350 dan pengeluaran tahun ke-15 untuk PSDH Pemanenan
ialah Rp 11.873.890. Sistem bagi hasil (20% Masyarakat, 80% Perhutani) dapat
dilihat pada tabel sebagai beikut :
Dengan adanya
analisis kelayakan usaha pada suku bunga 12% didapatkan hasil sebagai berikut :
Skenario
Bagi Hasil
Sedangkan
pada skenario bagi hasil pada 75% Perhutani – 25% Masyarakat dan 70% Perhutani
– 30% Masyarakat dapat dilihat pada tabel berikut :
Skenario 75% Perhutani – 25% Masyarakat
Skenario 70%
Perhutani – 30% Masyarakat
Dengan Analisis kelayakan
usaha dengan suku bunga 12% didapatkan hasil sebagai berikut :
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Evaluasi
Model
Evaluasi
model dilakukan untuk pengamatan kelogisan model dan membandingkan dengan dunia
nyata (Purnomo 2012). Dari ketiga skenario antara bagi hasil 80%-20%, 75%-25%
dan 70%-30% maka dapat dilihat bahwa pada BCR 80% - 20% BCR Perhutani sebesar
5,372 dan BCR Masyarakat ialah 4,481 dengan selisih 0,891. Sedangkan pada
format 75%-25% selisih BCR ialah 0,015 dan pada format 70%-30% selisih BCR
ialah 0,847. Dari tiga skenario model diatas maka skenario paling ideal adalah
skenario 75%-25% karena dengan skenario ini BCR (Benefit Cost Ratio) antara Perhutani dan Masyarakat memiliki
selisih terkecil.
Pengelolaan
agroforestry dengan sistem bagi hasil antara Perhutani dengan Masyarakat
merupakan salah satu solusi dalam mengatasi kemiskinan. Dengan adanya
kolaborasi ini maka masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan dan lahan mampu
bencari nafkah dari kerjasama ini. Hal ini saling menguntungkan antara dua
pihak, pihak Perhutani diuntungkan karena dengan sistem ini lahan Perhutani
akan ada ada yang mengelola dan menjaga sedangkan masyarakat diuntungkan dari
hasil panen pengelolaan agroforestry yang nantinya akan dibagi dengan
kesepakatan yang telah disetujui oleh dua pihak.
Dari
skenario bagi hasil antara bagi hasil 80% - 20%, 75% - 25% dan 70% - 30% maka
skenario terbaik dan ideal ialah skenario dengan bagi hasil 75% Pehutani – 25%
masyarakat karena skenario ini memiliki selisih BCR (Benefit Cost Ratio) yang terdekat.
Daftar Pustaka (file asli unduh disini)
Chundawat BS, and
SK Gautam. 1993. Text of Agroforestry. New Delhi: Oxford & IBH Publishing
Co. Pvt. Ltd.
Kartasubrata J.
1986. Partisipasi rakyat dalam penngelolaan dan pemanfaatan hutan di Jawa:
studi kehutanan social di daerah hutan produksi, hutan lindung, dan hutan
konservasi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Nair PKR. 1989b.
Classification of Agroforestry System. In PKR Nair (ed). Agroforestry System in
Tropics. Netherland: Kluwer Academik Publisher
Nair PKR. 1989c.
Agroforestry system, practices, and technologies. In PKR Nair (ed).
Agroforestry System in Tropics. Netherland: Kluwer Academik Publisher
Noorvitastri H,
Wijayanto N. 2003. Format Sistem Bagi
Hasil Dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat denga Sistem Agroforestry
[Jurnal Manajemen Hutan Tropika]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Purnomo H. 2012. Pemodelan dan Simulasi Untuk Pengelolaan
Adaptif Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Bogor: IPB Press.
Satjapradja O.
1981. Agroforestry di Indonesia : pengertian dan implementasinya. Prosiding
Seminar Agroforestry dan Pengendalian Perladangan. Jakarta: Badan Litbang
Pertanian
(file asli unduh disini)
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.