PENDIDIKAN TINGGI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI Arif Satria Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
OPINI
Kompas, 17 Mei 2017
PENDIDIKAN TINGGI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Arif Satria
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Pada 16 Mei 2017 para lulusan SMA berbondong-bondong mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Perguruan tinggi (PT) menjadi harapan bagi masa depan hidup mereka, karena sudah terbukti bahwa pendidikan tinggi adalah proses yang bisa meningkatkan kualitas hidup. PT pun bisa menjadi sarana mobilitas vertikal yang efektif. Namun demikian kini penting dikaji perspektif yang lebih luas dari sekedar harapan individual yang ingin masuk PT, tetapi juga harapan publik pada peran PT bagi proses transformasi. Apa yang disampaikan Menteri Ristekdikti pada Upacara Hardiknas 2 Mei 2017 menjadi relevan karena mengangkat isu bagaimana “Meningkatkan Relevansi Pendidikan Tinggi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi”.
Pembangunan Ekonomi
Saat ini pemerintah terus berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang ditargetkan 5,1% pada 2017, sehingga Presiden Joko Widodo langsung memberikan target pertumbuhan kepada sejumlah kementrian. Tentu dengan harapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya pertumbuhan ekonomi seperti apa yang dapat mendorong kesejahteraan rakyat?
Memang paradigma pertumbuhan pernah dominan di dunia ketiga. Akan tetapi ternyata pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat bukanlah sesuatu yang otomatis. Penganut teori pertumbuhan percaya bahwa akan terjadi efek menetes ke bawah (trickle down effect) yang berarti mekanisme kesejahteraan akan tercipta setelah ada pertumbuhan. Pada kenyataannya mekanisme ini jauh dari harapan dan malah yang terjadi adalah efek menetes ke atas yang berarti terjadi ketimpangan. Di Indonesia berdasarkan data BPS, ketimpangan makin melebar kurun waktu 20 tahun ini. Indeks gini di masa lalu relatif lebih rendah: 0,35 (1996), 0,30 (1999), 0,32 (2002), lalu meningkat lagi sejak 2005 menjadi 0,36 dan 0,41 (2011). Pada tahun 2016 mulai turun sedikit menjadi 0,39. Semakin tinggi indeks gini menggambarkan semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan tersebut sekaligus menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Pertumbuhan hanya dinikmati segelintir kelompok masyarakat, dan akses rakyat untuk menjadi pelaku pertumbuhan sangat terbatas. Belum lagi basis pertumbuhan berasal dari sektor-sektor yang jauh dari jangkauan rakyat seperti sektor finansial yang spekulatif. Atau, sektor riil padat modal sehingga tidak terlalu banyak membuka lapangan kerja. Inilah yang mendorong munculnya pemikiran bahwa pertumbuhan harus disertai dengan pemerataan (growth with equity) bahkan muncul lagi pemikiran pertumbuhan melalui pemerataan (growth through equity). Hal ini membawa konsekuensi terjadinya pemerataan kesempatan berusaha, dan sektor pertanian serta kemaritiman rakyat mestinya menjadi katup pengaman untuk pemerataan ini. Reforma agraria melalui redistribusi lahan 9 juta hektar serta program perhutanan sosial akhir-akhir ini bisa menjadi pintu masuknya.
Namun pertumbuhan hanyalah satu bagian dari pembangunan. Pembangunan memiliki dimensi lebih luas, tidak sekedar mengejar peningkatan produksi barang dan jasa serta pendapatan tetapi juga dimensi pemerataan dan keadilan. Oleh karena itu tulisan ini cenderung menggunakan istilah pembangunan dari pada pertumbuhan.
Agen Pemerataan
Bagaimana peran PT dalam pembangunan ekonomi? PT dan pembangunan ekonomi memiliki hubungan timbal balik. Di satu sisi, PT merupakan subordinasi dari pembangunan sehingga peran PT sangat tergantung dari desain pembangunan ekonomi yang ada. Profil lulusan dan kurikulum pun disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan. Namun di sisi lain PT juga bisa penentu desain pembangunan sebagaimana pernah terjadi di era Orde Baru dimana arsitek pembangunan ekonominya adalah para ekonom UI. Arah pembangunan ekonomi pun banyak terinspirasi dari aliran pemikiran para arsitek ekonomi itu. Dengan mencermati hubungan timbal-balik tersebut, maka ada sejumlah agenda penting dalam hubungan PT dan pembangunan.
Pertama, PT masih dituntut berperan penting dalam penentuan arah kebijakan pembangunan. PT tidak saja sekedar berposisi kritis terhadap kebijakan yang ada (reaktif), namun harus mampu menginspirasi dan memberikan solusi (proaktif). Memang diakui bahwa situasi masa lalu berbeda dengan saat ini. Dulu jumlah doktor sedikit, sehingga PT begitu bergengsi dengan segudang ahlinya. Namun saat ini sudah sangat banyak birokrat, profesional, pengusaha, dan LSM yang bergelar doktor. Belum lagi lembaga Think Tank juga makin banyak dan bahkan lebih berpengaruh dari PT dalam merebut wacana publik. Disinilah mestinya PT mulai sadar posisinya yang makin kurang berperan dalam arus perubahan lingkungan strategis. Karena itu PT harus mulai bangkit dan percaya diri kembali membangun aliansi strategis dengan pemerintah dan menjadi sumber inspirasi kebijakan. Syaratnya, PT harus makin dekat dengan realitas, mampu membaca perubahan, dan kemudian mengembangkan keilmuan yang memang dibutuhkan untuk memberi solusi.
Kedua, PT mesti mampu menghasilkan lulusan baru yang mampu mendukung proses transformasi ekonomi yang lebih merata. Kini ada kecenderungan positif di kalangan mahasiswa yang makin berminat menjadi technopreneur dengan mengembangkan start up bisnis. Begitu pula tinggi minat menjadi socio-preneur yang terlibat dalam pengembangan masyarakat melalui inovasi-inovasi yang dihasilkan. Fenomena Tri Mumpuni, alumnus IPB yang sukses mengembangkan model energi mikro-hidro berbasis masyarakat, adalah contoh socio-preneur yang menginspirasi mahasiswa. Kecenderungan ini harus dicermati PT seiring perubahan orientasi yang terjadi. Pengelola PT saat ini umumnya adalah Generasi X sementara mahasiswa sudah menjadi bagian Generasi Z yang lahir dalam kultur digital sehingga lebih melek teknologi informasi, serba lebih cepat, dan cenderung pragmatis. Bila PT gagal membaca perubahan ciri generasi, maka potensi-potensi mahasiswa untuk menjadi teknopreneur dan socio-preneur di atas bisa tidak tumbuh. Kalau ini terjadi, lagi-lagi PT hanya mengukuhkan struktur ketimpangan yang ada (Damanhuri et.al, 1997), karena lulusannya dominan memasuki perusahaan-perusahaan besar semata. Disinilah PT ditantang untuk mampu berperan dalam mendukung gerakan anti ketimpangan.
Ketiga, sebagian riset-riset PT mesti diarahkan untuk menghasilkan inovasi konkrit untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Hal ini penting karena desain pemerataan pembangunan harus diikuti oleh penguatan kapasitas usaha ekonomi rakyat sehingga mereka pun tahan banting terhadap arus besar persaingan yang terjadi. Inovasi-inovasi baru tersebut bisa memperkuat daya banting dan daya saing mereka. Karena itulah PT mesti mendekatkan jarak sosialnya dengan masyarakat sehingga paham terhadap kebutuhan riil di lapangan. Tema inovasi untuk pemerataan perlu terus digaungkan.
Ketiga agenda tersebut merupakan langkah minimal PT untuk menjadi agen pemerataan. Selamat ber-SBMPTN, semoga melahirkan generasi baru PT yang lebih tangguh hadapi perubahan dan mampu mengikis ketimpangan!
###
Kompas, 17 Mei 2017
PENDIDIKAN TINGGI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
Arif Satria
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
Pada 16 Mei 2017 para lulusan SMA berbondong-bondong mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Perguruan tinggi (PT) menjadi harapan bagi masa depan hidup mereka, karena sudah terbukti bahwa pendidikan tinggi adalah proses yang bisa meningkatkan kualitas hidup. PT pun bisa menjadi sarana mobilitas vertikal yang efektif. Namun demikian kini penting dikaji perspektif yang lebih luas dari sekedar harapan individual yang ingin masuk PT, tetapi juga harapan publik pada peran PT bagi proses transformasi. Apa yang disampaikan Menteri Ristekdikti pada Upacara Hardiknas 2 Mei 2017 menjadi relevan karena mengangkat isu bagaimana “Meningkatkan Relevansi Pendidikan Tinggi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi”.
Pembangunan Ekonomi
Saat ini pemerintah terus berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang ditargetkan 5,1% pada 2017, sehingga Presiden Joko Widodo langsung memberikan target pertumbuhan kepada sejumlah kementrian. Tentu dengan harapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya pertumbuhan ekonomi seperti apa yang dapat mendorong kesejahteraan rakyat?
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Memang paradigma pertumbuhan pernah dominan di dunia ketiga. Akan tetapi ternyata pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat bukanlah sesuatu yang otomatis. Penganut teori pertumbuhan percaya bahwa akan terjadi efek menetes ke bawah (trickle down effect) yang berarti mekanisme kesejahteraan akan tercipta setelah ada pertumbuhan. Pada kenyataannya mekanisme ini jauh dari harapan dan malah yang terjadi adalah efek menetes ke atas yang berarti terjadi ketimpangan. Di Indonesia berdasarkan data BPS, ketimpangan makin melebar kurun waktu 20 tahun ini. Indeks gini di masa lalu relatif lebih rendah: 0,35 (1996), 0,30 (1999), 0,32 (2002), lalu meningkat lagi sejak 2005 menjadi 0,36 dan 0,41 (2011). Pada tahun 2016 mulai turun sedikit menjadi 0,39. Semakin tinggi indeks gini menggambarkan semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan tersebut sekaligus menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas. Pertumbuhan hanya dinikmati segelintir kelompok masyarakat, dan akses rakyat untuk menjadi pelaku pertumbuhan sangat terbatas. Belum lagi basis pertumbuhan berasal dari sektor-sektor yang jauh dari jangkauan rakyat seperti sektor finansial yang spekulatif. Atau, sektor riil padat modal sehingga tidak terlalu banyak membuka lapangan kerja. Inilah yang mendorong munculnya pemikiran bahwa pertumbuhan harus disertai dengan pemerataan (growth with equity) bahkan muncul lagi pemikiran pertumbuhan melalui pemerataan (growth through equity). Hal ini membawa konsekuensi terjadinya pemerataan kesempatan berusaha, dan sektor pertanian serta kemaritiman rakyat mestinya menjadi katup pengaman untuk pemerataan ini. Reforma agraria melalui redistribusi lahan 9 juta hektar serta program perhutanan sosial akhir-akhir ini bisa menjadi pintu masuknya.
Namun pertumbuhan hanyalah satu bagian dari pembangunan. Pembangunan memiliki dimensi lebih luas, tidak sekedar mengejar peningkatan produksi barang dan jasa serta pendapatan tetapi juga dimensi pemerataan dan keadilan. Oleh karena itu tulisan ini cenderung menggunakan istilah pembangunan dari pada pertumbuhan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Agen Pemerataan
Bagaimana peran PT dalam pembangunan ekonomi? PT dan pembangunan ekonomi memiliki hubungan timbal balik. Di satu sisi, PT merupakan subordinasi dari pembangunan sehingga peran PT sangat tergantung dari desain pembangunan ekonomi yang ada. Profil lulusan dan kurikulum pun disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan. Namun di sisi lain PT juga bisa penentu desain pembangunan sebagaimana pernah terjadi di era Orde Baru dimana arsitek pembangunan ekonominya adalah para ekonom UI. Arah pembangunan ekonomi pun banyak terinspirasi dari aliran pemikiran para arsitek ekonomi itu. Dengan mencermati hubungan timbal-balik tersebut, maka ada sejumlah agenda penting dalam hubungan PT dan pembangunan.
Pertama, PT masih dituntut berperan penting dalam penentuan arah kebijakan pembangunan. PT tidak saja sekedar berposisi kritis terhadap kebijakan yang ada (reaktif), namun harus mampu menginspirasi dan memberikan solusi (proaktif). Memang diakui bahwa situasi masa lalu berbeda dengan saat ini. Dulu jumlah doktor sedikit, sehingga PT begitu bergengsi dengan segudang ahlinya. Namun saat ini sudah sangat banyak birokrat, profesional, pengusaha, dan LSM yang bergelar doktor. Belum lagi lembaga Think Tank juga makin banyak dan bahkan lebih berpengaruh dari PT dalam merebut wacana publik. Disinilah mestinya PT mulai sadar posisinya yang makin kurang berperan dalam arus perubahan lingkungan strategis. Karena itu PT harus mulai bangkit dan percaya diri kembali membangun aliansi strategis dengan pemerintah dan menjadi sumber inspirasi kebijakan. Syaratnya, PT harus makin dekat dengan realitas, mampu membaca perubahan, dan kemudian mengembangkan keilmuan yang memang dibutuhkan untuk memberi solusi.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Kedua, PT mesti mampu menghasilkan lulusan baru yang mampu mendukung proses transformasi ekonomi yang lebih merata. Kini ada kecenderungan positif di kalangan mahasiswa yang makin berminat menjadi technopreneur dengan mengembangkan start up bisnis. Begitu pula tinggi minat menjadi socio-preneur yang terlibat dalam pengembangan masyarakat melalui inovasi-inovasi yang dihasilkan. Fenomena Tri Mumpuni, alumnus IPB yang sukses mengembangkan model energi mikro-hidro berbasis masyarakat, adalah contoh socio-preneur yang menginspirasi mahasiswa. Kecenderungan ini harus dicermati PT seiring perubahan orientasi yang terjadi. Pengelola PT saat ini umumnya adalah Generasi X sementara mahasiswa sudah menjadi bagian Generasi Z yang lahir dalam kultur digital sehingga lebih melek teknologi informasi, serba lebih cepat, dan cenderung pragmatis. Bila PT gagal membaca perubahan ciri generasi, maka potensi-potensi mahasiswa untuk menjadi teknopreneur dan socio-preneur di atas bisa tidak tumbuh. Kalau ini terjadi, lagi-lagi PT hanya mengukuhkan struktur ketimpangan yang ada (Damanhuri et.al, 1997), karena lulusannya dominan memasuki perusahaan-perusahaan besar semata. Disinilah PT ditantang untuk mampu berperan dalam mendukung gerakan anti ketimpangan.
Ketiga, sebagian riset-riset PT mesti diarahkan untuk menghasilkan inovasi konkrit untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Hal ini penting karena desain pemerataan pembangunan harus diikuti oleh penguatan kapasitas usaha ekonomi rakyat sehingga mereka pun tahan banting terhadap arus besar persaingan yang terjadi. Inovasi-inovasi baru tersebut bisa memperkuat daya banting dan daya saing mereka. Karena itulah PT mesti mendekatkan jarak sosialnya dengan masyarakat sehingga paham terhadap kebutuhan riil di lapangan. Tema inovasi untuk pemerataan perlu terus digaungkan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
###
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.