Muhammadiyah Tanpa Mazhab
Pak AR (12)
*Muhammadiyah Tanpa Mazhab*
Oleh Syaefudin Simon
Beberapa waktu lalu (Juli 2016), saya bertemu dengan Pak Sukriyanto, putra Pak AR di RSI Cempaka Putih, Jakarta Timur. Hal pertama yang saya tanyakan kepada Pak Sukri, benarkah Muhammadiyah itu tidak bermazhab? Pak Sukri menjawab: Benar! Plong hati saya.
Saya menanyakan hal itu kepada Pak Sukri karena di antara putra-putri Pak AR, Pak Sukri adalah orang yang paling banyak menulis buku tentang Pak AR. Karena Pak Sukri paling banyak menggali kehidupan Pak AR, sedangkan Pak AR adalah Ketua PP Muhammadiyah paling lama (22 Tahun), maka asumsi saya Pak Syukri-lah orang yang paling tahu tentang Muhammadiyah. Maka, ketika mau bertemu Pak Sukri di RSI Cempaka Putih tadi, saya sudah ancang-ancang akan menanyakan tentang “ketidakbermazhaban” Muhammadiyah itu. Saya ingin penegasan itu sekali lagi dari Pak Sukri, sebab sebelumnya, remang-reman saya sudah tahu bahwa Muhammadiyah tidak bermazhab. Pak Shidiq tokoh Muhammadiyah di Palimanan, Cirebon, yang memberitahunya dulu ketika saya masih SMA.
Sikap Muhammadiyah yang tidak bermazhab tersebut sangat mengagumkan karena sangat modern, sangat prospektif, dan menjanjikan untuk masa depan Islam. Ini luar biasa sehingga sampai sekarang saya masih “tergumun-gumun” menyaksikan sebuah organisasi besar Islam yang tidak mengambil rujukan mazhab. Pikiran saya sering menerawang, Muhammadiyah akan menjadi organisasi Islam terbesar dan termodern di dunia.
Prof. Dr. Din Syamsudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah, pernah menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan Dahlanisme. Artinya, meski didirikan KH Ahmad Dahlan, fikih Muhammadiyah akan terus berkembang, tidak terpaku pada fikih yang dipakai Muhammadiyah “AB-1” ini. Majlis Tarjih – badan kajian fikih Muhammadiyah – selalu merespons masalah-masalah umat dengan pendekatan hukum teranyar sesuai dinamika zaman. Kita tahu setelah berkembangnya teknololgi rekayasa genetik, peta DNA, internet, teknologi digital, dan pesawat supersonik, banyak sekali persoalan fikih yang sulit diselesaikan dengan pendekatan klasik; harus ada terobosan fikih baru yang compatible dengan zaman.
Dengan tanpa mazhab, Muhammadiyah akan lincah berjalan di era penuh dinamika ini. Karena itu, dalam pikiran saya, tidak bermazhab sama dengan mengambil semua mazhab. Orang Muhammadiyah bebas mencari rujukan pada mazhab mana pun. Dalam bahasa hukum, orang Muhammadiyah mempunyai banyak yurisprudensi untuk menentukan keputusan syariah terhadap suatu masalah. Jadi Muhammadiyah sangat kaya yurisprudensi.
Saya jadi ingat ketika Pak AR ditanya tentang hukum dijilat anjing. Pak AR bertanya kembali kepada si penanya: Hukum berdasarkan mazhab mana?
Berdasarkan mazhab Syafi’i air liur anjing najis mughalladoh. Najis besar. Dalam mazhab Syafi’i ada nisbah fikih: Bila ada sebuah bejana dijilat anjing, maka harus dicuci air tujuh kali; salah satunya dengan air tanah (lumpur). Dari nisbah itu, najisnya anjing sangat besar. Dalam fikih disebut najis mughaladoh.
Tapi bila merujuk mazhab Maliki, air liur anjing tidak najis. Jadi jika anda dijilat anjing tidak perlu dicuci. Konon, di era Imam Maliki tak ada masalah dengan anjing. Beda dengan zaman Imam Syafi’i. Saat itu sedang ada wabah rabies. Penyakit ini penyebabnya gigitan anjing.
Bagi saya, jawaban Pak AR atas pertanyaan tentang najisnya anjing ini sangat menggembirakan. Artinya umat bisa memilih, mana yang sesuai dengan dirinya. Umat juga tidak terjebak pada fanatisme fikih. Umat akan tahu ternyata fikih tentang anjing berbeda-beda. Dan perbedaan itu ada rujukannya; ada yurisprudensinya.
Saya, ketika masih SMA, tahun 1975-an, pernah dimaki-maki orang satu desa Tegalgubug, Arjawinangun, Cirebon, karena pernah menyatakan bahwa anjing tidak najis. Saya menyatakan hal itu karena kasihan pada anjing.
Bayangkan, jika ada anjing masuk ke desa saya, Tegalgubug, anjing itu pasti mati. Semua orang Tegalgubug akan mengejar anjing tersebut. Jika tertangkap, ia langsung dipukul rama-ramai sampai mati bersimbah darah. Suara “aingan” anjing yang memelas itu membuat saya menangis.
Apa salahnya anjing sehingga dibantai? Mengerikan sekali. Desa Tegalgubug adalah the killing field of dogs! Ladang pembantaian anjing! Sikap orang Tegalgubug seperti itu karena mereka adalah orang-orang NU fanatik yang memegang teguh mazhab Syafi’i. Mereka membunuh anjing tanpa iba karena takut si anjing masuk rumah, tajug, atau masjid, lalu ludahnya berceceran di sana sehingga semuanya jadi najis mughalladah. Jalan satu-satunya untuk menghindari terpaan najis mughalladah itu, anjing tadi harus dibunuh!, sehingga tak mungkin masuk masjid.
Setelah mendengar Muhammadiyah nirmazhab, saya ingin mengalami hidup beragama dengan cara Muhammadiyah. Dan keinginan saya tercapai waktu kuliah di Yogya.
Di Magelang, di rumah paman saya di Kompleks Panca Arga, AKABRI, ada anjing sangat baik. Kalau saya datang, ia menjulurkan kaki depannya. Kata tante saya, Kurniah, ia ngajak salaman. Kalau saya jalan-jalan pagi, anjing itu ngikutin saya, kadang di depan kadang di belakang, seakan ingin menunjukkan jalan. Anjing hitam itu tampaknya ingin dekat dengan saya. Saya pun kadang mengelus-ngelus kepalanya. Sesekali lidah anjing itu nyenggol tangan saya; sesuatu yang tak mungkin terjadi jika saya masih di Desa Tegalgubug.
Najis Mugholadoh? Pikiran itu saya buang. Tapi karena tangan saya terkena air liur binatang, apalagi anjing, tetap saja ada perasaan, itu kotor. Lalu saya pun mencuci tangan saya dengan sabun. Tidak mencucinya sebanyaak tujuh kali dengan air, salah satunya dengan air campur tanah sesuai mazhab Syafi’i. Setelah hal itu saya tanya ke Pak Shidiq, tokoh Muhammadiyah Cirebon, ia membenarkannya.
“Cukup cuci dengan sabun, kalau merasa jijik,” kata Pak Shidiq, tokoh Muhammadiyah Palimanan, Cirebon. Kalau tak jijik, tak perlu dicuci. Seperti kalau dijilat embek.
.
Pengalaman berikutnya ber-Islam tanpa mazhab, saya alami ketika saya mampir ke rumah kos teman saya, Taufan Hidayat, mahasiswa IAIN Yogya, di Sapen. Di rumah kos Taufan (penulis kolom di koran Kedaulatan Rakyat) waktu itu ada beberapa anak IAIN yang lain: Mathori Al-Elwa, Adi Wicaksono, dan Subbhanudin Alwy. Ketiganya sastrawan muda Yogya. Kebetulan saya main ke rumah Taufan hari Jumat. Pas suara azan bergema, tak satu pun di antara mereka yang menuju masjid untuk salat Juma’t.
Saya heran, kenapa mereka tak ada yang salat Jumat? Melihat saya tercengang, Taufan yang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN menjelaskan: “Simon, kami tak salat Jumat karena mengikuti fikih Prof. Hasbi As-Shiddiqi.”
Menurut Taufan, selama tinggal di Yogya, Prof Hasbi – Guru Besar Hadist di IAIN Yogyakarta – tidak pernah sekali pun shalat Jumat. Ini terjadi karena beliau menganggap dirinya orang Aceh, bukan orang Yogya sehingga selamanya jadi musafir!
“Saya ini kan orang Pati, Jateng. Jadi di Yogya saya ini musafir seperti Pak Hasbi,” kata Taufan.
Deg..deg..deg.., jantung saya berdegup keras karena kaget! Ini pengetahuan baru yang mencengangkan saya. Saya baru tahu, ternyata Taufan dan teman-temannya yang tidak shalat Jum’at itu punya acuan hukum. Punya yurisprudensi dari ahli fiqih besar sekaliber Prof. Hasbi As-Shiddiqi.
Saat itu, tahun 1980-an, Prof. Hasbi adalah guru besar hadist yang paling otoritatif di IAIN Yogya. Bahkan mungkin paling otoritatif di seluruh IAIN Indonesia. Siapa yang berani mendebat Prof. Hasbi? Tak ada. Ahli hadist dan ahli fiqih di IAIN seluruh Indonesia semuanya murid-murid Prof. Hasbi. Ya, sudahlah dari pada ribut-ribut, para ahli hadist, tafsir, dan fiqih di IAIN Yogya tampaknya memaklumi saja “ketidak-salat-jumatan” Prof. Hasbi tadi. Orang seperti Taufan, Mathori, dan Adi tinggal mengikutinya. Maklumlah anak-anak muda suka bereksperiman dalam menjalankan syariah.
Setelah lama berkenalan dengan Taufan dan teman-temannya, saya pun menemui keanehan lain. Ketika saya mengajak Taufan makan di warung pinggir jalan, ia tak mau menyentuh ikan lele. Padahal saya amat menyukai cat fish itu.
“Kenapa Fan. Tidak suka ikan lele?,” tanya saya.
Taufan diam saja. Tapi kemudian Mathori menjawabnya. Taufan sekarang sedang mempelajari mazhab Syiah dan ia mengikutinya. Konon, lele hukumnya haram di mazhab Syiah. Bukan hanya lele. Semua jenis ikan yang tidak bersisik hukumnya haram. Dengan demikian belut dan ikan tongkol pun hukumnya haram dimakan.
“Walah....walah....saya tak mau mengikuti mazhab Syiah karena nanti tak bisa makan pecel lele,” kata saya.
Mazhab Syiah di tahun 1980-an sangat populer di Yogya. Popularitas mazhab ini terdongkrak karena popularitas Imam Khomeini yang berani melawan Irak dan Amerika. Pak Amien Rais, meski orang Muhammadiyah, sangat mengagumi Imam Khomeini. Tapi Pak Amien tampaknya tidak mengikuti fiqih Syiah seperti teman-teman saya tadi. Gegara haramnya lele di mazhab Syiah itu, saya pun mulai tertarik membaca buku-buku mazhab Syiah. Dan saya kaget, ternyata waktu salat di mazhab Syiah hanya tiga. Bukan lima waktu seperti yang saya lakukan selama ini.
Menariknya, salat tiga waktu ini asli berdasarkan Qur’an. Ayatnya: Aqiimissalaata liduluukis syamsi ilaa ghosaqillaili wa qur’aanal fajri. Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) saat terang fajar (subuh). (QS 17:78)
Jadi, salat tiga kali sehari semalam ini lebih Qur’ani ketimbang salat lima waktu, kata Taufan. Salat tiga waktu ini – Dhuhur dan Asyar satu waktu, lalu Maghrib dan Isya satu waktu, dan kemudian Shubuh satu waktu -- saya praktekkan ketika jadi wartawan harian Republika, Jakarta. Kalau di kalangan orang Sunni, salat tiga waktu itu mirip salat jama’. Bedanya, kalau di Sunni salat “jama atau tiga waktu” ini bersyarat (bila orang bepergian dengan panjang perjalanan tertentu atau ketika orang sakit); di Syiah salat tiga waktu tidak bersyarat. Jelas, dalam hal salat ini, mazhab Syiah lebih praktis. Terutama untuk wartawan yang pekerjaannya diburu waktu!
Penasaran terhadap perbedaan mazhab yang bagi saya memudahkan dalam menjalankan agama itu, saya mengusulkan masjid Syuhada Yogyakarta mengadakan seminar membahas empat mazhab. Pemakalahnya dari Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, dan Syiah. Muhammadiyah bermazhab nirmazhab, NU bermazhab Syafi’i, Ahmadiyah bermazhab Ahmadi, dan Syiah bermazhab Ahlul-Bait. Seminar ini ternyata menarik minat jamaah dan kader-kader dakwah masjid Syuhada. Dari seminar itulah terbuka wawasan saya.
Saya kaget ketika pembicara dari Syiah, Jalaludin Rakhmat menyatakan bahwa pedoman Islam sepeninggal Rasulullah adalah Al-Qur’an dan Ahlul Bait. Bukan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ini karena Ahlul Bait adalah orang-orang yang kesuciannya dijamin Allah sesuai Surat Al-Ahzab 33. Sunah Rasul memang benar, tapi sepeningal Rasul masih ada rujukan umat yatitu ahlul bait.
Siapa saja ahlul bait? Menurut mazhab Syiah mayoritas (Itsna ‘Asyariah), ahlul bait terdiri atas dua belas imam. Pertama Sayyidina Ali (Imam Ali), ke-2 Hasan bin Ali, ke-3 Husein bin Ali, ke-4 Ali in Husein, ke-5 Muhammad Al-Baqir, ke-6 Ja’far Ash-Shiddiq, ke-7 Musa Al-Kadzim, ke-8 Ali- Ar Ridho, ke-9 Muhammad Al-Jawad, ke-10 Ali Al-Hadi, ke-11 Hasan Al-Asykari, dan ke-12 Abu Al-Qashim (Imam Mahdi). Kedudukan para imam ini memang tidak sama dengan nabi; tapi mereka pembawa pesan atau penafsir hadist Rasulullah yang paling otoritatif.
Dari kedua belas imam di atas, Imam Mahdi yang paling terkenal. Ini karena di masyarakat Islam Jawa, khususnya NU, ada kepercayaan bahwa kelak di akhir zaman akan datang Imam Mahdi untuk menghakimi seluruh umat manusia dengan adil seadil-adilnya. Kepercayaan kepada mesianisme (Imam Mahdi) dan praktik ziarah kubur inilah yang menyebabkan Gus Dur menyatakan bahwa NU sebetulnya Islam berbau syiah.
Sedangkan pembicara Ahmadiyah menyatakan, sepeninggal Rasul, Allah masih menurunkan utusannya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dan keturunannya. Yang menarik adalah, Mirza Ghulam Ahmad jika dirunut adalah keturunan Rasulullah juga. Sedangkan ulama Ahlul Bait diakui sebagai ulama yang paling otoritatif dalam menafsirkan Qur’an dan hadist. Pendapat tersebut disepakati mayoritas ulama. Maklumlah ahlul bait adalah orang-orang yang punya keturunan langsung dari Rasulullah melalui putrinya Fatimah Az-Zahra, istri Ali Bin Abi Thalib. Kita tahu, Rasulullah pernah bersabda: “Aku adalah gudang ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.” Hadist ini menjelaskan bahwa keluarga Nabi, Ahlul Bait, adalah orang-orang yang paling otoritatif dalam menjelaskan ilmu-ilmu agama. Yaitu ilmu-ilmu yang berdasarkan Qur’an dan hadist. Imam Ja’far As-Shadiq, misalnya, salah seorang Ulama Ahlul Bait adalah gurunya para imam pendiri empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi). Empat mazhab inilah yang paling banyak diikuti di Asia dan Afrika. Di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunai kaum muslim kebanyakan menganut mazhab Syafi’i. Sedangkan di Saudi Arabia dan sekitarnya kebanyakan mazhab Hambali. Sementara di Hindustan (India dan Pakistan) memakai mazhab Hanafi dan di Magribi (Afrika Utara) kebanyakan mazhab Maliki. Menariknya, semua imam mazhab tersebut adalah murid Imam Ja’far As-Shadiq, seorang ulama Ahlul Bait yang bermazhab Syiah!
So what? Siapa yang mengaku paling baik mazhabnya? Semua baik, karena semuanya Islam. Syahadatnya sama: Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Dan Muhammad adalah utusanNya. Saya pikir, itulah keindahan Islam. Islam bagaikan rumpun bunga aneka warna yang disatukan dalam bingkai mozaik indah.
Saya sangat menikmati mengikuti 1001 mazhab ini. Soal anjing, misalnya, saya ikut Mazhab Maliki saja. Gegara ini, saya mudah bergaul dengan orang Jepang. Di Hiroshima saya tidak canggung bercanda dengan anjing pudel milik Miyuki yang menggemaskan. Saya jadi akrab dengan Miyuki, seorang mahasiswi sastra Inggris Hiroshima University dan keluarganya berkat kebaikan saya pada anjing pudelnya. Budi Nugroho dari RRI Jakara dan Teguh Juwarno dari RCTI mblegidig kalau didekati pudel lucu itu. Najis, katanya.
Dalam memburu berita dan nara sumber, sebagai wartawan, saya ikut Syiah saja karena waktu salatnya lebih praktis. Hanya tiga waktu; jama’ semua.
Dalam berwirid dan salawatan, saya memilih NU karena lebih khusuk dan menyentuh kalbu. Indah sekali! Dalam menjelajah ilmu pengetahuan, saya lebih memilih Ahmadiyah karena pemikiran-pemikiran rasionalnya dan motivasinya yang kuat untuk menggapai kemajuan sains-tek. Salah satu hadist yang paling sering dikutip kaum Ahmadi dan saya sangat menyukainya adalah, zikir paling utama adalah membaca dan menulis buku!
Luar biasa hadist ini! Itulah sebabnya, orang-orang Ahmadi dikenal sangat cerdas dan penulis buku yang sangat produktif. Buku-buku tentang Islam di Amerika dan Eropa, misalnya, kebanyakan karya kaum Ahmadi. Muslim pertama penerima Nobel Fisika yang sangat prestisius adalah Prof. Abdus Salam, juga seorang Ahmadi asal Pakistan. Dan tafsir Alqur’an pertama yang mengguncang dunia adalah tafsir The Holy Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali, seorang mufasir Ahmadi asal India. HOS Cokroaminoto, Bung Karno, dan Bung Hatta mengaku mencintai Islam setelah membaca The Holy Qur’an tadi.
Dari perspektif inilah, kenapa saya mengagumi Muhammadiyah yang tidak bermazhab. Ini karena saya bisa memilih mazhab yang kompatibel dengan kondisi dan situasi. Pesan Pak AR agar Islam disampaikan dengan enteng, ringan, dan menyenangkan hanya mungkin dilakukan jika orang tidak bermazhab dan mengambil sisi positif setiap mazhab. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang sangat bagus. Rasulullah saw bersabda, “yassiru wala tu’assiru wabasysyiru wala tunafiru”. Artinya: mudahkanlah dan janganlah engkau persulit orang lain dan berilah kabar gembira pada mereka, jangan membuat mereka lari. Hadist ini, menurut kaum Sunni, shahih karena diriwayatkan Imam Bukhari.
Persoalannya, bagaimana kita menafsirkan hadist itu? Kalau orang yang otaknya penuh dendam dan kebencian, pastilah akan menyatakan, jangan mencampur-aduk mazhab dan memudahkan agama karena Allah dan Nabi akan murka. Tapi bagi orang yang otaknya penuh damai, ia akan menyatakan: ikuti jalan Islam yang menentramkan dan membahagiakan. Allah bersama orang yang sabar dan berhati damai.
Dr. Fadli Zon, wakil ketua MPR, dalam buku biografinya yang diluncurkan awal Juni 2016 lalu dengan judul “Menyusuri Lorong Waktu” menyajikan pengalamannya yang sangat bagus. Di Amerika, tulisnya, ketika mendapat beasiswa, ia tinggal di keluarga Kristen yang sangat ramah. Fadli selalu dingatkan “bapak angkat”nya untuk salat jika waktu salat tiba. Ia juga sering diajak mengunjungi masjid-masjid di Amerika dan keluarga angkatnya menunggu dengan sabar jika Fadli melaksanakan salat.
Melihat kebaikan orang Kristen seperti itu, tulis Fadli, yang timbul adalah rasa tulus menyayangi sesama umat beragama. Bagaimana mungkin saya berpikir ekstrim jika mengenal orang Kristen sebaik itu. Orang-orang ekstrim yang akhirnya menjadi teroris, kata Fadli, terjadi karena dia berkacamata kuda. Ia belajar Islam hanya satu mazhab, tanpa perbandingan mazhab lain. Ia belajar Islam tanpa menengok sedikit pun ajaran agama lain.
Seandainya saya hanya mempelajari Islam dari satu sumber tanpa membandingkan dengan sumber-sumber lain, tulis Fadli, saya akan menjadi ekstrimis, bahkan teroris. Dalam istilah alay kaum netizen, orang berpikir bumi datar karena kurang piknik.
Muhammadiyah yang tidak bermazhab, membuka peluang pengembangan beragama yang ramah, indah, dan membahagiakan. Dengan tidak bermazhab, kaum Muhammadi bisa mengeksplorasi sisi-sisi indah setiap mazhab dan kemudian menyajikan Islam sesuai dengan budaya setempat. Seperti dakwah Wali Songo di Jawa. Islam itu indah, mudah, dan ramah, kata Pak AR.
Saya terkagum-kagum ketika Pak AR berhasil menyelesaikan persoalan mayat Cina non-muslim yang ingin disalatkan di masjid Ngabean Yogyakarta. Pak AR sangat bijak ketika membolehkan keranda mayat Cina non-Islam itu dibolehkan masuk masjid; kemudian ditaruh di sisi jamaah salat Ashar dan menjelaskan kepada keluarga Cina itu bahwa salat mayat untuk jenasah dilakukan secara istimewa karena dia mayat non-muslim. Dan keluarga Cina itu pun senang. Padahal si mayat Cina tidak disalatkan, hanya ditaruh di samping orang-orang yang salat Asar.
Hikmah dari cerita itu, bagaimana Islam bisa menyenangkan orang lain tanpa terjerumus dalam pengingkaran esensi syariah. Dan Pak AR sangat piawai menyelesaikan persoalan-persoalan rumit fikiyah itu dengan jalan yang enteng, ringan, dan memuaskan semua pihak. Itu hanya mungkin terjadi jika orang beriIslam tanpa mazhab seperti Muhamadiyah.
Dalam beragama Pak AR tidak suka berkonflik. Islam itu mudah, kata Pak AR. Islam hanya perlu dijalankan, bukan diperselisihkan. Konflik hanya terjadi pada orang-orang yang tidak memahami agama secara utuh. Atau orang-orang yang menjalankan agama, tapi pamrih. Tidak ikhlas. Karena itu mereka senang konflik. Sedangkan orang yang ikhlas menjalankan agama, hatinya bersih, tulus, dan menghindari konflik.
Dari perjalanan dakwah Pak AR yang penuh warna, akhirnya kita tersadar bahwa Islam itu bagaikan rumpun bunga yang membentuk mozaik indah. Banyak rupa, banyak warna, banyak aroma -- tapi berada dalam satu bingkai. Tujuannya sama: meraih Keridhaan Allah.
Dari berbagai sumber
Yudhabjnugroho
*Muhammadiyah Tanpa Mazhab*
Oleh Syaefudin Simon
Beberapa waktu lalu (Juli 2016), saya bertemu dengan Pak Sukriyanto, putra Pak AR di RSI Cempaka Putih, Jakarta Timur. Hal pertama yang saya tanyakan kepada Pak Sukri, benarkah Muhammadiyah itu tidak bermazhab? Pak Sukri menjawab: Benar! Plong hati saya.
Saya menanyakan hal itu kepada Pak Sukri karena di antara putra-putri Pak AR, Pak Sukri adalah orang yang paling banyak menulis buku tentang Pak AR. Karena Pak Sukri paling banyak menggali kehidupan Pak AR, sedangkan Pak AR adalah Ketua PP Muhammadiyah paling lama (22 Tahun), maka asumsi saya Pak Syukri-lah orang yang paling tahu tentang Muhammadiyah. Maka, ketika mau bertemu Pak Sukri di RSI Cempaka Putih tadi, saya sudah ancang-ancang akan menanyakan tentang “ketidakbermazhaban” Muhammadiyah itu. Saya ingin penegasan itu sekali lagi dari Pak Sukri, sebab sebelumnya, remang-reman saya sudah tahu bahwa Muhammadiyah tidak bermazhab. Pak Shidiq tokoh Muhammadiyah di Palimanan, Cirebon, yang memberitahunya dulu ketika saya masih SMA.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Sikap Muhammadiyah yang tidak bermazhab tersebut sangat mengagumkan karena sangat modern, sangat prospektif, dan menjanjikan untuk masa depan Islam. Ini luar biasa sehingga sampai sekarang saya masih “tergumun-gumun” menyaksikan sebuah organisasi besar Islam yang tidak mengambil rujukan mazhab. Pikiran saya sering menerawang, Muhammadiyah akan menjadi organisasi Islam terbesar dan termodern di dunia.
Prof. Dr. Din Syamsudin, mantan Ketua PP Muhammadiyah, pernah menyatakan bahwa Muhammadiyah bukan Dahlanisme. Artinya, meski didirikan KH Ahmad Dahlan, fikih Muhammadiyah akan terus berkembang, tidak terpaku pada fikih yang dipakai Muhammadiyah “AB-1” ini. Majlis Tarjih – badan kajian fikih Muhammadiyah – selalu merespons masalah-masalah umat dengan pendekatan hukum teranyar sesuai dinamika zaman. Kita tahu setelah berkembangnya teknololgi rekayasa genetik, peta DNA, internet, teknologi digital, dan pesawat supersonik, banyak sekali persoalan fikih yang sulit diselesaikan dengan pendekatan klasik; harus ada terobosan fikih baru yang compatible dengan zaman.
Dengan tanpa mazhab, Muhammadiyah akan lincah berjalan di era penuh dinamika ini. Karena itu, dalam pikiran saya, tidak bermazhab sama dengan mengambil semua mazhab. Orang Muhammadiyah bebas mencari rujukan pada mazhab mana pun. Dalam bahasa hukum, orang Muhammadiyah mempunyai banyak yurisprudensi untuk menentukan keputusan syariah terhadap suatu masalah. Jadi Muhammadiyah sangat kaya yurisprudensi.
Saya jadi ingat ketika Pak AR ditanya tentang hukum dijilat anjing. Pak AR bertanya kembali kepada si penanya: Hukum berdasarkan mazhab mana?
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Berdasarkan mazhab Syafi’i air liur anjing najis mughalladoh. Najis besar. Dalam mazhab Syafi’i ada nisbah fikih: Bila ada sebuah bejana dijilat anjing, maka harus dicuci air tujuh kali; salah satunya dengan air tanah (lumpur). Dari nisbah itu, najisnya anjing sangat besar. Dalam fikih disebut najis mughaladoh.
Tapi bila merujuk mazhab Maliki, air liur anjing tidak najis. Jadi jika anda dijilat anjing tidak perlu dicuci. Konon, di era Imam Maliki tak ada masalah dengan anjing. Beda dengan zaman Imam Syafi’i. Saat itu sedang ada wabah rabies. Penyakit ini penyebabnya gigitan anjing.
Bagi saya, jawaban Pak AR atas pertanyaan tentang najisnya anjing ini sangat menggembirakan. Artinya umat bisa memilih, mana yang sesuai dengan dirinya. Umat juga tidak terjebak pada fanatisme fikih. Umat akan tahu ternyata fikih tentang anjing berbeda-beda. Dan perbedaan itu ada rujukannya; ada yurisprudensinya.
Saya, ketika masih SMA, tahun 1975-an, pernah dimaki-maki orang satu desa Tegalgubug, Arjawinangun, Cirebon, karena pernah menyatakan bahwa anjing tidak najis. Saya menyatakan hal itu karena kasihan pada anjing.
Bayangkan, jika ada anjing masuk ke desa saya, Tegalgubug, anjing itu pasti mati. Semua orang Tegalgubug akan mengejar anjing tersebut. Jika tertangkap, ia langsung dipukul rama-ramai sampai mati bersimbah darah. Suara “aingan” anjing yang memelas itu membuat saya menangis.
Apa salahnya anjing sehingga dibantai? Mengerikan sekali. Desa Tegalgubug adalah the killing field of dogs! Ladang pembantaian anjing! Sikap orang Tegalgubug seperti itu karena mereka adalah orang-orang NU fanatik yang memegang teguh mazhab Syafi’i. Mereka membunuh anjing tanpa iba karena takut si anjing masuk rumah, tajug, atau masjid, lalu ludahnya berceceran di sana sehingga semuanya jadi najis mughalladah. Jalan satu-satunya untuk menghindari terpaan najis mughalladah itu, anjing tadi harus dibunuh!, sehingga tak mungkin masuk masjid.
Setelah mendengar Muhammadiyah nirmazhab, saya ingin mengalami hidup beragama dengan cara Muhammadiyah. Dan keinginan saya tercapai waktu kuliah di Yogya.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Di Magelang, di rumah paman saya di Kompleks Panca Arga, AKABRI, ada anjing sangat baik. Kalau saya datang, ia menjulurkan kaki depannya. Kata tante saya, Kurniah, ia ngajak salaman. Kalau saya jalan-jalan pagi, anjing itu ngikutin saya, kadang di depan kadang di belakang, seakan ingin menunjukkan jalan. Anjing hitam itu tampaknya ingin dekat dengan saya. Saya pun kadang mengelus-ngelus kepalanya. Sesekali lidah anjing itu nyenggol tangan saya; sesuatu yang tak mungkin terjadi jika saya masih di Desa Tegalgubug.
Najis Mugholadoh? Pikiran itu saya buang. Tapi karena tangan saya terkena air liur binatang, apalagi anjing, tetap saja ada perasaan, itu kotor. Lalu saya pun mencuci tangan saya dengan sabun. Tidak mencucinya sebanyaak tujuh kali dengan air, salah satunya dengan air campur tanah sesuai mazhab Syafi’i. Setelah hal itu saya tanya ke Pak Shidiq, tokoh Muhammadiyah Cirebon, ia membenarkannya.
“Cukup cuci dengan sabun, kalau merasa jijik,” kata Pak Shidiq, tokoh Muhammadiyah Palimanan, Cirebon. Kalau tak jijik, tak perlu dicuci. Seperti kalau dijilat embek.
.
Pengalaman berikutnya ber-Islam tanpa mazhab, saya alami ketika saya mampir ke rumah kos teman saya, Taufan Hidayat, mahasiswa IAIN Yogya, di Sapen. Di rumah kos Taufan (penulis kolom di koran Kedaulatan Rakyat) waktu itu ada beberapa anak IAIN yang lain: Mathori Al-Elwa, Adi Wicaksono, dan Subbhanudin Alwy. Ketiganya sastrawan muda Yogya. Kebetulan saya main ke rumah Taufan hari Jumat. Pas suara azan bergema, tak satu pun di antara mereka yang menuju masjid untuk salat Juma’t.
Saya heran, kenapa mereka tak ada yang salat Jumat? Melihat saya tercengang, Taufan yang mahasiswa Fakultas Syariah IAIN menjelaskan: “Simon, kami tak salat Jumat karena mengikuti fikih Prof. Hasbi As-Shiddiqi.”
Menurut Taufan, selama tinggal di Yogya, Prof Hasbi – Guru Besar Hadist di IAIN Yogyakarta – tidak pernah sekali pun shalat Jumat. Ini terjadi karena beliau menganggap dirinya orang Aceh, bukan orang Yogya sehingga selamanya jadi musafir!
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
“Saya ini kan orang Pati, Jateng. Jadi di Yogya saya ini musafir seperti Pak Hasbi,” kata Taufan.
Deg..deg..deg.., jantung saya berdegup keras karena kaget! Ini pengetahuan baru yang mencengangkan saya. Saya baru tahu, ternyata Taufan dan teman-temannya yang tidak shalat Jum’at itu punya acuan hukum. Punya yurisprudensi dari ahli fiqih besar sekaliber Prof. Hasbi As-Shiddiqi.
Saat itu, tahun 1980-an, Prof. Hasbi adalah guru besar hadist yang paling otoritatif di IAIN Yogya. Bahkan mungkin paling otoritatif di seluruh IAIN Indonesia. Siapa yang berani mendebat Prof. Hasbi? Tak ada. Ahli hadist dan ahli fiqih di IAIN seluruh Indonesia semuanya murid-murid Prof. Hasbi. Ya, sudahlah dari pada ribut-ribut, para ahli hadist, tafsir, dan fiqih di IAIN Yogya tampaknya memaklumi saja “ketidak-salat-jumatan” Prof. Hasbi tadi. Orang seperti Taufan, Mathori, dan Adi tinggal mengikutinya. Maklumlah anak-anak muda suka bereksperiman dalam menjalankan syariah.
Setelah lama berkenalan dengan Taufan dan teman-temannya, saya pun menemui keanehan lain. Ketika saya mengajak Taufan makan di warung pinggir jalan, ia tak mau menyentuh ikan lele. Padahal saya amat menyukai cat fish itu.
“Kenapa Fan. Tidak suka ikan lele?,” tanya saya.
Taufan diam saja. Tapi kemudian Mathori menjawabnya. Taufan sekarang sedang mempelajari mazhab Syiah dan ia mengikutinya. Konon, lele hukumnya haram di mazhab Syiah. Bukan hanya lele. Semua jenis ikan yang tidak bersisik hukumnya haram. Dengan demikian belut dan ikan tongkol pun hukumnya haram dimakan.
“Walah....walah....saya tak mau mengikuti mazhab Syiah karena nanti tak bisa makan pecel lele,” kata saya.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Mazhab Syiah di tahun 1980-an sangat populer di Yogya. Popularitas mazhab ini terdongkrak karena popularitas Imam Khomeini yang berani melawan Irak dan Amerika. Pak Amien Rais, meski orang Muhammadiyah, sangat mengagumi Imam Khomeini. Tapi Pak Amien tampaknya tidak mengikuti fiqih Syiah seperti teman-teman saya tadi. Gegara haramnya lele di mazhab Syiah itu, saya pun mulai tertarik membaca buku-buku mazhab Syiah. Dan saya kaget, ternyata waktu salat di mazhab Syiah hanya tiga. Bukan lima waktu seperti yang saya lakukan selama ini.
Menariknya, salat tiga waktu ini asli berdasarkan Qur’an. Ayatnya: Aqiimissalaata liduluukis syamsi ilaa ghosaqillaili wa qur’aanal fajri. Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) saat terang fajar (subuh). (QS 17:78)
Jadi, salat tiga kali sehari semalam ini lebih Qur’ani ketimbang salat lima waktu, kata Taufan. Salat tiga waktu ini – Dhuhur dan Asyar satu waktu, lalu Maghrib dan Isya satu waktu, dan kemudian Shubuh satu waktu -- saya praktekkan ketika jadi wartawan harian Republika, Jakarta. Kalau di kalangan orang Sunni, salat tiga waktu itu mirip salat jama’. Bedanya, kalau di Sunni salat “jama atau tiga waktu” ini bersyarat (bila orang bepergian dengan panjang perjalanan tertentu atau ketika orang sakit); di Syiah salat tiga waktu tidak bersyarat. Jelas, dalam hal salat ini, mazhab Syiah lebih praktis. Terutama untuk wartawan yang pekerjaannya diburu waktu!
Penasaran terhadap perbedaan mazhab yang bagi saya memudahkan dalam menjalankan agama itu, saya mengusulkan masjid Syuhada Yogyakarta mengadakan seminar membahas empat mazhab. Pemakalahnya dari Muhammadiyah, NU, Ahmadiyah, dan Syiah. Muhammadiyah bermazhab nirmazhab, NU bermazhab Syafi’i, Ahmadiyah bermazhab Ahmadi, dan Syiah bermazhab Ahlul-Bait. Seminar ini ternyata menarik minat jamaah dan kader-kader dakwah masjid Syuhada. Dari seminar itulah terbuka wawasan saya.
Saya kaget ketika pembicara dari Syiah, Jalaludin Rakhmat menyatakan bahwa pedoman Islam sepeninggal Rasulullah adalah Al-Qur’an dan Ahlul Bait. Bukan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ini karena Ahlul Bait adalah orang-orang yang kesuciannya dijamin Allah sesuai Surat Al-Ahzab 33. Sunah Rasul memang benar, tapi sepeningal Rasul masih ada rujukan umat yatitu ahlul bait.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Siapa saja ahlul bait? Menurut mazhab Syiah mayoritas (Itsna ‘Asyariah), ahlul bait terdiri atas dua belas imam. Pertama Sayyidina Ali (Imam Ali), ke-2 Hasan bin Ali, ke-3 Husein bin Ali, ke-4 Ali in Husein, ke-5 Muhammad Al-Baqir, ke-6 Ja’far Ash-Shiddiq, ke-7 Musa Al-Kadzim, ke-8 Ali- Ar Ridho, ke-9 Muhammad Al-Jawad, ke-10 Ali Al-Hadi, ke-11 Hasan Al-Asykari, dan ke-12 Abu Al-Qashim (Imam Mahdi). Kedudukan para imam ini memang tidak sama dengan nabi; tapi mereka pembawa pesan atau penafsir hadist Rasulullah yang paling otoritatif.
Dari kedua belas imam di atas, Imam Mahdi yang paling terkenal. Ini karena di masyarakat Islam Jawa, khususnya NU, ada kepercayaan bahwa kelak di akhir zaman akan datang Imam Mahdi untuk menghakimi seluruh umat manusia dengan adil seadil-adilnya. Kepercayaan kepada mesianisme (Imam Mahdi) dan praktik ziarah kubur inilah yang menyebabkan Gus Dur menyatakan bahwa NU sebetulnya Islam berbau syiah.
Sedangkan pembicara Ahmadiyah menyatakan, sepeninggal Rasul, Allah masih menurunkan utusannya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad dan keturunannya. Yang menarik adalah, Mirza Ghulam Ahmad jika dirunut adalah keturunan Rasulullah juga. Sedangkan ulama Ahlul Bait diakui sebagai ulama yang paling otoritatif dalam menafsirkan Qur’an dan hadist. Pendapat tersebut disepakati mayoritas ulama. Maklumlah ahlul bait adalah orang-orang yang punya keturunan langsung dari Rasulullah melalui putrinya Fatimah Az-Zahra, istri Ali Bin Abi Thalib. Kita tahu, Rasulullah pernah bersabda: “Aku adalah gudang ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya.” Hadist ini menjelaskan bahwa keluarga Nabi, Ahlul Bait, adalah orang-orang yang paling otoritatif dalam menjelaskan ilmu-ilmu agama. Yaitu ilmu-ilmu yang berdasarkan Qur’an dan hadist. Imam Ja’far As-Shadiq, misalnya, salah seorang Ulama Ahlul Bait adalah gurunya para imam pendiri empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi). Empat mazhab inilah yang paling banyak diikuti di Asia dan Afrika. Di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunai kaum muslim kebanyakan menganut mazhab Syafi’i. Sedangkan di Saudi Arabia dan sekitarnya kebanyakan mazhab Hambali. Sementara di Hindustan (India dan Pakistan) memakai mazhab Hanafi dan di Magribi (Afrika Utara) kebanyakan mazhab Maliki. Menariknya, semua imam mazhab tersebut adalah murid Imam Ja’far As-Shadiq, seorang ulama Ahlul Bait yang bermazhab Syiah!
So what? Siapa yang mengaku paling baik mazhabnya? Semua baik, karena semuanya Islam. Syahadatnya sama: Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Dan Muhammad adalah utusanNya. Saya pikir, itulah keindahan Islam. Islam bagaikan rumpun bunga aneka warna yang disatukan dalam bingkai mozaik indah.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Saya sangat menikmati mengikuti 1001 mazhab ini. Soal anjing, misalnya, saya ikut Mazhab Maliki saja. Gegara ini, saya mudah bergaul dengan orang Jepang. Di Hiroshima saya tidak canggung bercanda dengan anjing pudel milik Miyuki yang menggemaskan. Saya jadi akrab dengan Miyuki, seorang mahasiswi sastra Inggris Hiroshima University dan keluarganya berkat kebaikan saya pada anjing pudelnya. Budi Nugroho dari RRI Jakara dan Teguh Juwarno dari RCTI mblegidig kalau didekati pudel lucu itu. Najis, katanya.
Dalam memburu berita dan nara sumber, sebagai wartawan, saya ikut Syiah saja karena waktu salatnya lebih praktis. Hanya tiga waktu; jama’ semua.
Dalam berwirid dan salawatan, saya memilih NU karena lebih khusuk dan menyentuh kalbu. Indah sekali! Dalam menjelajah ilmu pengetahuan, saya lebih memilih Ahmadiyah karena pemikiran-pemikiran rasionalnya dan motivasinya yang kuat untuk menggapai kemajuan sains-tek. Salah satu hadist yang paling sering dikutip kaum Ahmadi dan saya sangat menyukainya adalah, zikir paling utama adalah membaca dan menulis buku!
Luar biasa hadist ini! Itulah sebabnya, orang-orang Ahmadi dikenal sangat cerdas dan penulis buku yang sangat produktif. Buku-buku tentang Islam di Amerika dan Eropa, misalnya, kebanyakan karya kaum Ahmadi. Muslim pertama penerima Nobel Fisika yang sangat prestisius adalah Prof. Abdus Salam, juga seorang Ahmadi asal Pakistan. Dan tafsir Alqur’an pertama yang mengguncang dunia adalah tafsir The Holy Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali, seorang mufasir Ahmadi asal India. HOS Cokroaminoto, Bung Karno, dan Bung Hatta mengaku mencintai Islam setelah membaca The Holy Qur’an tadi.
Dari perspektif inilah, kenapa saya mengagumi Muhammadiyah yang tidak bermazhab. Ini karena saya bisa memilih mazhab yang kompatibel dengan kondisi dan situasi. Pesan Pak AR agar Islam disampaikan dengan enteng, ringan, dan menyenangkan hanya mungkin dilakukan jika orang tidak bermazhab dan mengambil sisi positif setiap mazhab. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang sangat bagus. Rasulullah saw bersabda, “yassiru wala tu’assiru wabasysyiru wala tunafiru”. Artinya: mudahkanlah dan janganlah engkau persulit orang lain dan berilah kabar gembira pada mereka, jangan membuat mereka lari. Hadist ini, menurut kaum Sunni, shahih karena diriwayatkan Imam Bukhari.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Persoalannya, bagaimana kita menafsirkan hadist itu? Kalau orang yang otaknya penuh dendam dan kebencian, pastilah akan menyatakan, jangan mencampur-aduk mazhab dan memudahkan agama karena Allah dan Nabi akan murka. Tapi bagi orang yang otaknya penuh damai, ia akan menyatakan: ikuti jalan Islam yang menentramkan dan membahagiakan. Allah bersama orang yang sabar dan berhati damai.
Dr. Fadli Zon, wakil ketua MPR, dalam buku biografinya yang diluncurkan awal Juni 2016 lalu dengan judul “Menyusuri Lorong Waktu” menyajikan pengalamannya yang sangat bagus. Di Amerika, tulisnya, ketika mendapat beasiswa, ia tinggal di keluarga Kristen yang sangat ramah. Fadli selalu dingatkan “bapak angkat”nya untuk salat jika waktu salat tiba. Ia juga sering diajak mengunjungi masjid-masjid di Amerika dan keluarga angkatnya menunggu dengan sabar jika Fadli melaksanakan salat.
Melihat kebaikan orang Kristen seperti itu, tulis Fadli, yang timbul adalah rasa tulus menyayangi sesama umat beragama. Bagaimana mungkin saya berpikir ekstrim jika mengenal orang Kristen sebaik itu. Orang-orang ekstrim yang akhirnya menjadi teroris, kata Fadli, terjadi karena dia berkacamata kuda. Ia belajar Islam hanya satu mazhab, tanpa perbandingan mazhab lain. Ia belajar Islam tanpa menengok sedikit pun ajaran agama lain.
Seandainya saya hanya mempelajari Islam dari satu sumber tanpa membandingkan dengan sumber-sumber lain, tulis Fadli, saya akan menjadi ekstrimis, bahkan teroris. Dalam istilah alay kaum netizen, orang berpikir bumi datar karena kurang piknik.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Muhammadiyah yang tidak bermazhab, membuka peluang pengembangan beragama yang ramah, indah, dan membahagiakan. Dengan tidak bermazhab, kaum Muhammadi bisa mengeksplorasi sisi-sisi indah setiap mazhab dan kemudian menyajikan Islam sesuai dengan budaya setempat. Seperti dakwah Wali Songo di Jawa. Islam itu indah, mudah, dan ramah, kata Pak AR.
Saya terkagum-kagum ketika Pak AR berhasil menyelesaikan persoalan mayat Cina non-muslim yang ingin disalatkan di masjid Ngabean Yogyakarta. Pak AR sangat bijak ketika membolehkan keranda mayat Cina non-Islam itu dibolehkan masuk masjid; kemudian ditaruh di sisi jamaah salat Ashar dan menjelaskan kepada keluarga Cina itu bahwa salat mayat untuk jenasah dilakukan secara istimewa karena dia mayat non-muslim. Dan keluarga Cina itu pun senang. Padahal si mayat Cina tidak disalatkan, hanya ditaruh di samping orang-orang yang salat Asar.
Hikmah dari cerita itu, bagaimana Islam bisa menyenangkan orang lain tanpa terjerumus dalam pengingkaran esensi syariah. Dan Pak AR sangat piawai menyelesaikan persoalan-persoalan rumit fikiyah itu dengan jalan yang enteng, ringan, dan memuaskan semua pihak. Itu hanya mungkin terjadi jika orang beriIslam tanpa mazhab seperti Muhamadiyah.
Dalam beragama Pak AR tidak suka berkonflik. Islam itu mudah, kata Pak AR. Islam hanya perlu dijalankan, bukan diperselisihkan. Konflik hanya terjadi pada orang-orang yang tidak memahami agama secara utuh. Atau orang-orang yang menjalankan agama, tapi pamrih. Tidak ikhlas. Karena itu mereka senang konflik. Sedangkan orang yang ikhlas menjalankan agama, hatinya bersih, tulus, dan menghindari konflik.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Dari perjalanan dakwah Pak AR yang penuh warna, akhirnya kita tersadar bahwa Islam itu bagaikan rumpun bunga yang membentuk mozaik indah. Banyak rupa, banyak warna, banyak aroma -- tapi berada dalam satu bingkai. Tujuannya sama: meraih Keridhaan Allah.
Dari berbagai sumber
Yudhabjnugroho
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.