Petani : Antara Profesi dan Korban Ambisi
Oleh : Yudha BJ Nugroho
[23
Agustus 2018]
Negara ini terkenal sejak dahulu kala
sebagai negara agraris. Hal ini didasarkan pada mayoritas penduduknya yang
berprofesi sebagai petani. Sawah yang luas, hasi kebun yang melimpah, hasil
laut yang beragam, ditambah dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun
karena negeri ini di daerah khatulistiwa.
Melihat kekayaan negeri ini, sangat
mustahil jika kelaparan akan melanda Indonesia. Kekayaan negeri ini tidak
diimbangi dengan kesejahteraan masyarakatnya. Profesi petani masih sering
dianggap sebelah mata oleh banyak kalangan.
Mereka melihat jika bekerja dibawah matahari terik adalah pekerjaan yang kurang berkelas. Sehingga tidak jarang disuatu daerah, regenerasi para petani untuk usia muda atau lebih akrab ditelinga kita saat ini generasi milenial sangat sedikit.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Pemerintah sangat menggalakkan kampanye
untuk produksi hasil pertanian yang harus meningkat. Sebenarnya kampanye ini
tidak didasarkan pada kenyataan yang ada di masyarakat. Generasi petani saat
ini kebanyakan diisi generasi tua, dan ditambah merekapun hidup dibawah
kehidupan sejahtera.
Kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak, keadaan
alam yang tidak menentu, ketersediaan pupuk yang sulit didapat, bibit yang
tidak terjagkau harganya, ditambah dengan desakan para pengembang yang
mengincar sawah – sawah untuk dijadikan perumahan, membuat lahan sawah saat ini
dalam kondisi yang terancam.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), untuk
daerah Jawa Barat saja, dalam kurun waktu dari tahun 2013 hingga 2015 terjadi
penurunan luas lahan persawahan (BPS, 2018). Ditahun 2013 luas lahan persawahan
di Provinsi Jawa Barat seluas 925.042 Ha, dan pada tahun 2015 menjadi 912.794
Ha. Provinsi Jawa Barat saja sudah kehilangan 12.248 Ha sawah dalam waktu 2
tahun.
Gambar 2 : Luas lahan sawah dari 2013 hingga 2015 (sumber : https://www.bps.go.id/site/resultTab) |
Inilah yang menjadi dilema, petani menjual
lahan sawahnya karena profesi ini semakin sulit untuk mendapatkan kehidupan
sejahtera. Harga hasil bumi yang tidak pasti membuat mereka menerima tawaran
pengembang yang ingin membeli lahannya dengan harga tinggi (menurut mereka. Red).
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Andai saja petani ini dianggap seperti
profesi yang mendapatkan jaminan dari negara seperti pegawai, tentu banyak
masyarakat yang akan bangga dan berusaha mempertahankan keberadaan sawah
mereka.
Misalkan saja mereka diberi upah dari ‘upaya
mempertahankan lahan’ supaya tetap menjadi sawah yang digarap perbulan Rp.
1.000.000,-, tentu mereka akan sangat senang. Bukan cuma ‘dianjurkan’ untuk
tetap bertani, namun tidak dihargai dengan materi.
Yudha BJ
Nugroho
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.