Jangan Menuduh Penghianat
Oleh : Yudha BJ Nugroho
[17 Mei
2019]
Penghianat Bangsa !!!, Penghianat Tim !!!,
Penghianat Klub !!!
Umpatan seperti itu sering kita dengar jika
seseorang mencoba berbeda dari kelompok mayoritas, atau seseorang tiba – tiba keluar
dari anggota atau kelompok yang selama ini menjadi tempat bernaung baginya.
Padahal ungkapan penghianat itu berasal dari
pandangan orang lain yang begitu singkat dalam menyimpulkan suatu keadaan. Sementara
tuduhan tersebut diberikan pada seseorang yang bisa jadi iapun tidak ada niatan
sedikitpun untuk berhianat.
Dalam kasus penghianat ini lebih banyak
disematkan pada masa dahulu di bumi Indonesia untuk menunjuk pada warga pribumi
(inlander) yang turut andil dalam
mendukung Pemerintahan Kolonial Belanda. Subscribe
Gambar 1 : Ilustrasi Penghianat (Sumber : https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2018/12/11/penghianat-5c0f4dd9aeebe1692a2053aa.jpg?t=o&v=760) |
Gelar penghianat ini entah mengapa pada
saat itu hanya ditujukan pada warga pribumi yang menjadi Tentara KNIL atau
Tentara Kerajaan Belanda yang ditunjuk dari masyarakat lokal. Sementara itu
tidak bagi pegawai pemerintahan seperti kepala desa atau masa dahulu disebut demang, kepala kawedanan yang disebut wedana, bahkan Bupati sekalipun.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Jabatan pemerintahan itu secara resmi
diberikan oleh Pemerintah Kolonial bagi masyarakat pribumi yang menjadi
pegawai. Buka hanya dilingkungan sekitar pemerintah, bahkan menjadi pegawai
perusahaan negara (BUMN masa kini) atau swasta, seperti pegawai kereta api,
pegadaian, pos, yang sejak masa dahulu sudah ada.
Masyarakat pribumi masa itu menjadi pegawai
bukan karena menghianati bangsa, namun karena kebutuhan ekonomi. Menjadi pegawai
pemerintahan atau perusahaan adalah salah satu jalan bagi mereka untuk mencari
rezeki.
Pemerintah Kolonial Belanda pun saat
memasuki era Politik etis mulai tahun 1900 an, sudah lebih memperhatikan
masyarakat pribumi, seperti menerapkan Wajib Belajar, memasukkan fraksi
golongan dan unsur pribumi dalam anggota dewan negeri dan negara (DPR dan DPRD
masa kini), hingga memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam hal keagamaan,
kesehatan, fasilitas umum dan lainnya.
Hanya saja penduduk pribumi pada masa itu
hanya menjadi warga kelas 3, dibawah warga keturunan Eropa dan Timur Asing
(Arab dan Tionghoa). Strata sosial inilah yang membuat masyarakat pribumi ini
memberontak dan mencoba untuk mengusir Pemerintah Kolonial Belanda.
Menurut saya atas dasar rasa iri mengapa
perjuangan kemerdekaan ini dimulai di negeri ini. Bagi saya tidak masalah jika Pemerintah
Kolonial Belanda sampai saat ini masih memerintah secara sah negeri ini. Karena
Negara Hindia Belanda pada masa itu adalah sebuah negara yang sah, yang
diperintah oleh pemerintahan yang sah.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Bisa dilihat sampai masa sekarang
peninggalan zaman Pemerintah Kolonial Belanda banyak yang masih berfungsi baik,
PLTA, Jalur Kereta Api, hingga Jalan Raya Deandles yang melegenda. Itu artinya
sejak dahulu Pemerintah Kolonial telah memerintah Negeri ini sebagaimana mestinya.
Lantas apa bedanya dengan zaman sekarang,
jika rasa iri yang dahulu muncul kembali, karena para elit bangsa saat ini
bukan lagi masyarakat eropa atau timur asing, namun para warga pribumi sendiri
yang ‘pintar cari muka’ didepan penguasa yang sah, dan berharap keturunannya ikut
dalam rentetan para elit berikutnya.
Maka sebenarnya jangan serta merta menuduh
penghianat jika melihat seseorang yang tiba – tiba berpindah pegangan dan
keluar dari kelompok, bukan apa – apa, mereka hanya mencari rezeki dan sesuap
nasi, tidak lebih dari itu.
Yudha BJ
Nugroho - Ikuti Mags Ini Untuk Postingan Terbaru Subscribe
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.