Menanti FOREST AMNESTY Presiden JOKOWI
oleh
Pungky
Widiaryanto
Mungkinkan menerapkan forest amnesty?
Apa itu? kita punya pengalaman dalam tax amnesty. Forest amnesty bisa menjadi
solusi konflik tenurial.
KETERLANJURAN pemanfaatan kawasan hutan
di Indonesia telah menjadi isu serius pembangunan nasional. Luas kawasan hutan
tak berhutan ini mencapai kurang lebih 28 juta hektare. Meski ada upaya
penyelesaian, tapi kurang efektif. Perlu terobosan, antara lain, melalui
peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan forest amnesty,
amnesti bagi keterlanjuran penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan.
Dari segi hukum, kegiatan menduduki,
membuka, dan mengolah kawasan hutan tanpa izin masuk kategori perambah atau
ilegal. Tapi, satu hal yang perlu diingat, status merambah hutan ini bukan
hanya perkebunan atau pertambangan saja. Pembangunan bandar udara, pelabuhan,
jalan, fasilitas umum dan sosial lainnya, hingga fasilitas pemerintahan, juga
masuk perambahan. Sampai saat ini, kawasan permukiman, perdesaan, dan
perkotaan tersebut masih berada di dalam kawasan hutan.
Gambar 1 : Amnesty (Sumber : https://pbs.twimg.com/profile_images/510458295648538625/IN_XNuYC_400x400.jpeg) |
Banyak yang mengklaim perambahan kawasan
hutan ini merupakan resultante berbagai faktor. Contohnya, tidak jelasnya batas
kawasan hutan, tidak adanya pengelola hutan di lapangan, ketidaktahuan pejabat
yang memberi izin, atau bisa jadi memang pelanggaran itu sendiri. Faktor lain
yang tidak kalah penting adalah tumpang tindih rencana tata ruang dengan
kawasan hutan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Kita sepakat bahwa masalah konflik
tenurial ini harus diselesaikan agar tidak berlarut-larut dan semakin kompleks.
Kepastian hukum di lapangan atas aset dan akses juga menjadi prasyarat mencapai
target-target pembangunan. Upaya penyelesaian konflik sebenarnya telah
dilakukan, walau hasilnya kurang maksimal.
Perlu digarisbawahi penyelesaian
penguasaan tanah dalam kawasan hutan oleh masyarakat secara riil berada pada
kawasan hutan tak berhutan, alias sudah dalam penguasaan masyarakat. Jadi,
kurang benar jika ada anggapan bahwa reforma agaria kawasan hutan dan
perhutanan sosial akan merusak hutan.
Pada sisi lain, terdapat juga pandangan
yang beranggapan bahwa konflik tenurial kawasan hutan harus dikembalikan ke
negara. Terlebih lagi, ada kelompok dengan argumen yang mungkin kurang
rasional, bahwa kawasan hutan yang berupa pemukiman, kawasan pedesaan dan
perkotaan tersebut akan direhabilitasi lagi menjadi hutan.
Pertanyaannya: apakah negara akan
menggusur keterlanjuran ini? Apakah mungkin memindahkan masyarakat dari tempat
tinggalnya? Jika mungin, perlu berapa lama dan biaya berapa besar?
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Kombinasi Reforma Agraria dan RTRW
Melihat permasalahan di atas,
permasalahan status kawasan hutan perlu dipertimbangan menjadi salah satu isu
strategis pembangunan nasional. Negara harus hadir dalam memberikan kepastian
legalitas status lahan yang disebut kawasan hutan ini. Utamanya untuk
melindungi kepentingan, dan memberikan kepastian kepemilikan kepada rakyat.
Dalam beberapa kali kesempatan, Presiden
Joko Widodo memerintahkan anak buahnya menyelesaikan berbagai isu pemanfaatan
kawasan hutan. Amanah Presiden sangat jelas. Kepentingan masyarakat harus
didahulukan jika terdapat konflik dalam penggunaan kawasan hutan. Instrumen
kebijakan sudah diterbitkan, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 88/2017
tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Setelah berjalan lebih dari dua tahun,
hasil kebijakan ini, yaitu pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat, masih jauh
dari target yang dicanangkan – seluas 4,1 juta hektare. Proses yang rumit
hingga kurang siapnya sumber daya manusia menjadi penyebab.
Dalam Perpres terdapat keterbatasan.
Pertama, pendataan kawasan hutan yang dikuasai masyarakat hanya dilakukan
sekali saja untuk setiap kabupaten. Kedua, pendataan awal pun hanya berdasarkan
arahan dari peta indikatif. Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana nasib
masyarakat yang tidak masuk dalam peta indikatif dan tidak termasuk dalam
pendataan inventarisasi lapangan?
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Selain itu, Perpres mengamanahkan
penyelesaian hanya diperuntukkan bagi provinsi dengan jumlah kawasan hutan di
atas 30%. Masalahnya, beberapa provinsi memiliki luas kawasan hutan di bawah
30%. Walaupun bisa dilakukan tukar menukar kawasan hutan, ketersediaan areal
pengganti menjadi isu lain yang baru.
Di sisi lain, terdapat kebijakan lain
memberikan kepastian penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat, yaitu perhutanan
sosial. Bedanya, skema ini untuk kawasan hutan tak berhutan yang telah dikuasai
masyarakat kurang dari 20 tahun. Seiring program reforma agraria, hasil dari
skema ini juga masih lamban. Bahkan, skema ini tidak bisa diaplikasikan bagi
masyarakat dengan usaha kebun kelapa sawit. Padahal kebun kepala sawit menjadi
mayoritas penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat.
Langkah sangat diperlukan. Mekanisme
revisi atau peninjauan kembali RTRW terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan
dapat menjadi salah satu solusi yang diangggap cepat, murah, dan bisa
dikerjakan secara bersamaan di seluruh Indonesia.
Tentu saja sebelum mengajukan usulan
revisi RTRW Provinsi (RTRWP) perlu inventarisasi di lapangan secara
partisipatif. Kegiatannya dimulai dari tingkat pemerintah desa dengan supervisi
dari berbagai kementerian/lembaga terkait. Kompilasi klaim masyarakat atau desa
ini kemudian menjadi basis dalam pengajuan perubahan peruntukan kawasan hutan
melalui RTRWP.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Usulan perubahan kawasan hutan ini akan
dibahas oleh Tim Terpadu. Setelah itu berdasarkan hasil kajian Tim, instansi
berwenang memutuskan usulan RTRWP tersebut. Lalu, penataan batas lapangan.
Melalui proses peninjauan kembali RTRW
partisipatif ini, peran desa menjadi sangat penting. Utamanya dalam penentuan
tata batas maupun tata ruang. Pola partisipatif ini juga mendorong paradigma
pembangunan kehutanan untuk pembangunan perdesaan.
Forest Amnesty untuk Tambang, Kebun, dan
Fasum/Fasos
Isu lain, yang mungkin dapat dijadikan
agenda pembangunan pada pemerintahan berikutnya, adalah penyelesaian
ketelanjuran penggunaan kawasan hutan oleh perusahaan besar/korporasi. Obyeknya
bisa tambang, pabrik, kebun, sawit masyarakat dan fasum/fasos dalam kawasan
hutan. Penyelesaian melalui mekanisme Perpres 88/2017 tidak berlaku untuk obyek
usaha produktif ini, terutama kebun kelapa sawit masyarakat.
Berdasarkan data yang diolah KPK
akhir-akhir ini, luas kebun sawit dalam kawasan hutan mencapai sekitar 3,4 juta
hektare. Seluas 1,8 juta hektare dikuasai oleh pengusaha besar, yang memiliki
izin usaha perkebunan (IUP). Bahkan, di antara mereka berada di atas izin usaha
kehutanan. Sisanya sekitar 1,6 juta hektare dikelola oleh masyarakat.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Para pengolah lahan berupa kebun sawit
ini, seringkali disalahkan sebagai penyebab utama perusak hutan. Jika
dibandingkan dengan kawasan hutan tak berhutan seluas 28 juta hektare,
persentase luas perkebunan kelapa sawit hanya 12% saja. Oleh karena itu, kurang
tepat bila ada anggapan bahwa perkembangan perkebunan sawit menjadi penyebab
utama hilangnya hutan atau deforestasi.
Sebaliknya, seperti kita ketahui, kelapa
sawit memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Usaha kebun
sawit juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hasil turunan dari sawit
juga mampu mendukung untuk ketahanan pangan dan energi. Baru-baru ini, IUCN
menyebutkan bahwa kebun sawit juga memiliki peran dalam menjaga keanekaragaman
hayati. Apalagi jika pembuatan kebun sawit dilakukan di kawasan hutan tak
berhutan lainnya. Lebih baik ada tanamannya meski sawit dibandingkan lahan
dibiarkan tak berhutan.
Perlu dipertimbangkan solusi memberikan
ampunan dan menerapkan kewajiban, yang dinamakan forest amnesty. Terobosan ini
sejalan dengan pengalaman bangsa ini dalam melakukan tax amnesty. Tujuan forest
amnesty untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian,
mengembangkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban
perpajakan. Selain itu, manfaat lainnya meliputi adanya kepastian kepemilikan
dan investasi, peningkatan produktivitas dan daya saing, dan yang paling utama
menjaga agar tidak merambah hutan lagi.
Langkah Nyata Forest Amnesty
Solusi atas problem di atas perlu
kerjasama dan kesungguhan berbagai pihak. Langkah pertama menyusun peta
indikatif tipologi pemanfaatan, pendudukan, penggunaan kawasan hutan di luar
perizinan berdasarkan peta penutupan lahan. Selanjutnya, berbagai pihak
melakukan inventarisasi, verifikasi, dan audit pemilik lahan, beserta jenis
usaha dan komoditasnya. Kemudian, para pemilik lahan bisa mengklaim dan
mengakui lahan dan usaha mereka. Terhadap pihak-pihak yang enggan melaporkan
diri secara sukarela, penegakan hukum harus dilakukan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Setelah verifikasi dan terdaftar,
ampunan dan legalitas diberikan. Pemerintah bisa membebankan kewajiban lainnya
seperti pengenaan tarif, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sewa
lahan, dan kewajiban rehabilitasi hutan. Dalam melaksanakan forest amnesty ini
perlu didasari regulasi. Berkaca dari Perpres No 88/2017, sebaiknya peraturan
lanjutan ini dibuat lebih aplikatif dan tidak rigid.
Artikel ini tayang dalam versi cetak
edisi April-Juni 2019 dengan judul "Menanti Forest Amnesty Presiden
Jokowi".
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.