Saat ini, Lebih Baik Nederlands East Indie atau Indonesia ?
Oleh :
Yudha BJ Nugroho
Masa
kelam Indonesia tercatat dalam buku – buku sejarah pendidikan kita adalah Masa
Penjajahan Belanda. Selama 350 tahun Indonesia dalam cengkeraman kolonialisme
asing. Ditambah lagi selama 4 tahun sebelum masa kemerdekaan, Jepang dan Sekutu
juga menduduki Nusantara.
Sebenarnya
sejarah yang kita pelajari sejak Sekolah Dasar (SD) itu salah, karena Indonesia
sebenarnya tidak pernah dijajah. Belanda dahulu menduduki daerah – daerah di
Nusantara yang telah dipimpin oleh kerajaan – kerajaan lokal dan masing –
masing mempunyai pemimpin serta kedaulatannya sendiri.
Indonesia
jelas belum lahir, belum ada negara bernama Indonesia sebelum 17 Agustus 1945,
sehingga salah jika dikatakan ‘Indonesia dijajah selama 350 tahun’,negaranya
saja belum ada.
Nah,
saat Belanda memutuskan untuk membangun sebuah negara koloni yang memiliki
wilayah di hampir seluruh Nusantara bernama Nederlands East Indie
(Hindia Belanda Timur), maka negara koloni ini resmi berdiri dan diakui
kedaulatannya oleh dunia saat itu. Negara koloni ini dipimpin oleh seorang
Gubernur Jenderal sebagai wakil dari Raja atau Ratu Belanda dan menjadikan para
pemimpin Kerajaan Lokal sebagai pemimpin daerah yang berkewajiban melapor
kepada Gubernur Jenderal.
Kerajaan
Belanda membangun Imperium besar, disamping Nederlands East Indie adapula
Nederlands West Indie (Hindia Belanda Barat) yang berdiri di wilayah
Negara Suriname saat ini. Keberadaan negara koloni ini sangat menopang
perekonomian Kerajaan Belanda di Eropa, begitupun saat Kerajaan Belanda dibawah
aneksasi Perancis.
Sekarang
jika ada pertanyaan, apakah Indonesia saat ini lebih baik, dibandingkan saat
masa Koloni Nederlands East Indie ?
Cita
– cita pendiri negeri ini adalah menjadikan bangsa pribumi, asli Indonesia sebagai
tuan rumah di negeri sendiri. Seperti diketahui, pada masa Kolonial, Pemerintah
Hindia Belanda membagi kependudukan dalam 3 status, Eropa, Timur Asing, dan
Pribumi.
Bangsa
pribumi sebagai warga asli, ditempatkan pada status ke-3, ini juga yang
menjadikan bangsa kita kebanyakan menjadi pekerja, bawahan, atau malah jongos
(sebutan bagi pembantu di Zaman Kolonial). Mungkin bagi penduduk pribumi yang
berasal dari kalangan bangsawan merasakan kehidupan yang lebih baik.
Kebangsawanan
seseorang dipengaruhi oleh kebiasaan feodalisme yang juga masing mengakar kuat
dimasa itu. Sebenarnya tuntutan kemerdekaan itu kebanyakan karena perasaan ‘iri’
dari bangsa pribumi yang merasa tuan rumah, namun mendapatkan kehidupan yang
tidak lebih baik.
Buku
– buku sejarah yang diajarkan sejak SD, selalu menempatkan dan menceritakan
bahwa ‘Penjajah Belanda’ selalu bertindak kejam, jahat, dan menindas supaya
menimbulkan perasaan benci dan menumbuhkan nasionalisme. Padahal Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda justru membangun pemerintahan negara sebagaimana
mestinya, pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang
ditumbuhkan sesuai kebutuhan masyarakatnya.
Memerintah
suatu negara selalu ada saja kelompok yang ‘Oposisi’, dan ini adalah kelompok
pribumi yang merasa ‘iri’ tadi. Pemerintah Kolonial selalu mendapati rongrongan
dan pemberontakan dari kalangan oposisi ini, namun justru dibuku sejarah kita,
pemberontakan ini disebut ‘perjuangan kemerdekaan’.
Sebenarnya
ini hanya masalah cara pandang saja, antara memberontak atau memperjuangkan,
namun pendidikan di negeri ini selalu mengaburkan atau menolak pemikiran cara
pandang berbeda ini.
Hal
ini sama saja seandainya dahulu Gerakan Aceh Merdeka (GAM), memenangi perang
terhadap TNI, dan menjadikan Aceh sebagai negara merdeka, GAM pasti menjadi ‘pahlawan
perjuangan kemerdekaan’ bagi Aceh, namun didalam sejarah TNI, GAM adalah ‘pemberontak
negara Indonesia’, Nah, sama kan ?. Contoh lain adalah Timor Leste, dalam buku sejarah Timor Leste, Indonesia di kategorikan sebagai negara penjajah, dan Xanana Gusmao adalah Pahlawan Nasional, namun dalam catatan sejarah Indonesia, Xanana Gusmao adalah termasuk Pemberontak Fretellin yang telah merongrong cita - cita persatuan Indonesia. Namun apakah Indonesia rela dicap sebagai penjajah? tentu tidak, Indonesia tetap menganggap kehadirannya di Timor Timur masa lalu adalah upaya pembangunan.
Padahal
pembangunan di masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, masih bisa kita
saksikan sampai saat ini, coba lihat berapa banyak bangunan dari Zaman Kolonial
ini yang masih bertahan hingga saat ini, bandingkan dengan bangunan yang
dibangun setelah masa kemerdekaan, sebentar saja ‘renovasi’ hancur, anggaran
membengkak karena perbaikan terus – menerus.
Pemerintah
Kolonial membangun dengan memperhatikan keseriusan, dan berharap bangunan ini
aman dan tetap berdiri hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Bendungan PLTA, Puluhan
Pabrik Gula, Kantor Pemerintahan, Ratusan Kilometer Jalur Rel Kereta Api Jawa –
Sumatera, adalah sebagian kecil dari bangunan peninggalan Pemerintah Kolonial
yang masih bertahan hingga kini.
Apalagi
semenjak era penerapan Politik Etis di Hindia Belanda, Pemerintah Kolonial lebih
memerhatikan penduduk pribumi, memberikan pendidikan meskipun sekolahnya tetap
dibedakan berdasarkan status kependudukan, kesehatan dengan menyekolahkan
ratusan Mantri untuk masuk ke pelosok – pelosok desa, juga beasiswa untuk
sekolah hingga ke Negeri Belanda, yang kita ketahui, penerima beasiswa tersebut
kebanyakan diisi pendiri negeri ini.
Menurut
penulis, kesalahan Pemerintah Kolonial adalah terlalu membebaskan penerima beasiswa
di Negeri Belanda untuk ‘bersuara’ di forum Internasional, tentang kesenjangan
yang terjadi di Negara Hindia Belanda.
Kembali
ke rasa ‘iri’ tadi, topik kesenjangan selalu menjadi sorotan bagi mereka. Mereka
yang bersuara dan bersekolah di Negeri Belanda ini, ketika kembali ke Hindia
Belanda, semakin lantang meneriakkan ‘Kemerdekaan’. Dan selalu menjual kata ‘Merdeka’
lebih baik, karena bangsa pribumi memerintah bangsa pribumi sendiri.
Hingga akhirnya
kemerdekaan bagi Bangsa Pribumi terwujud, dan sudah berumur 74 tahun (tahun
2019 saat ini), apakah ‘Jualan’ kemerdekaan adalah lebih baik, sudah dirasakan
saat ini?
Entah benar
atau tidaknya, ‘Jualan’ kemerdekaan itu gagal. Penulis berpendapat, sampai saat
ini tetap saja yang merasakan hidup lebih baik adalah yang ‘duduk diatas’ dan
mengisi posisi ‘Kalangan Pemerintah Kolonial’ yang sudah ditinggalkan oleh
mereka.
Rasa iri
itulah yang mendorong mereka merebut kuasa, padahal apakah lebih baik era
pemerintahan saat ini dibandingkan Pemerintah Kolonial ?.
Pembangunan
ya biasa saja, kesehatan, atau kesejahteraan, semuanya biasa saja, coba dipikirkan,
seandainya Pemerintah Kolonial memerintah hingga saat ini, pasti juga mereka
menerbitkan BPJS, Jaminan Sosial, atau apapun program pemerintah saat ini, yang
jelas hanya menunggu waktu dan masanya.
Apalagi ditambah
dengan masa kini istilah, ‘yang kaya, semakin kaya, cukup mendominasi jika
berkaca pada konglomerasi ‘diatas’. Rebutan kekuasaan, korupsi, dan masih
banyak lagi ‘Drama’ politik yang kacau di Negeri yang katanya ‘MERDEKA’ ini.
-------------------
Penulis.
Yudha BJ
Nugroho.
Copyright
2019.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.