Mengapa Harus Membenci Tiongkok / China ?
Oleh :
Schrijver
Sentimen
anti Tiongkok dewasa ini begitu mengakar dibeberapa kelompok masyarakat di
Indonesia. Entah karena alasan politik, atau masalah pribadi. Kebencian ini
bukan hanya pada warga pendatang Tiongkok, atau negara Tirai Bambu saja, namun
keturunan Tionghoa yang moyangnya telah menetap di Indonesia sejak zaman dahulu
pun, terkena imbasnya.
Motif
politik diduga mendominasi dalam tumbuhnya kebencian ini. Disaat masyarakat
Indonesia banyak yang kesulitan mencari pekerjaan, pemerintah malah menyetujui
kerjasama investasi dengan Tiongkok yang mensyaratkan pekerjanya harus dari negeri
mereka.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Seiring
berjalannya waktu, kebencian ini semakin bertambah, banyak pesan berantai
bergulir dimasyarakat ditengah mudahnya segala informasi menyebar hanya dengan
bantuan telunjuk. Padahal pesan tersebut entah benar atau tidaknya, diterima
mentah – mentah dan diyakini suatu kebenaran.
Tiongkok
yang kita kenal selama ini memang sebuah negara berideologi komunis besar
dengan masa lalunya yang berupa Imperium Kekaisaran yang melegenda. Republik
Rakyat China adalah pemerintahan resmi yang saat ini berada di kawasan
Kekaisaran Tiongkok, meskipun diakhir masa pemerintahan kekaisaran, justru
pegiat Republik Tiongkoklah yang lebih dahulu memerintah, yang saat ini mereka
tergeser oleh loyalis komunis dan menetap di Pulau Taiwan.
Sebenarnya
Suku Tionghoa sendiri sudah mendiami wilayah nusantara sejak era kerajaan lokal
hingga era Pemerintah Hindia Belanda, karena pada masa Kerajaan Sriwijaya dan
Majapahit yang merupakan dua Kerajaan besar, telah menjalin hubungan bilateral
dengan kekaisaran Tiongkok, begitupula sampai dengan era Kerajaan Islam.
Para
perantau dan pedagang suku Tionghoa pun diterima baik oleh penguasa kerajaan di
Nusantara, serta hidup membaur dengan masyarakat lokal, mengikuti kebiasaan dan
adat istiadatnya. Bahkan Wali Songo yang kita kenal di buku sejarah sekolah
dasar sebagai ulama penyebar agama islam di tanah Jawa, sebagiannya ada yang
berasal dari suku Tionghoa.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Tidak
pernah ada sama sekali kecemburuan atau sifat penolakan dari masyarakat lokal
nusantara terhadap suku Tionghoa, mungkin ada namun itu tidak membesar.
Sentimen
negatif terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia sebenarnya bermula saat Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda membuat kebijakan pemukiman. Pemerintah Hindia Belanda
mengalami kekhawatiran terhadap intrik dan gejolak perlawanan dari masyarakat
lokal yang hidup membaur dengan pedagang dan warga keturunan Tionghoa maupun
Arab.
Disamping
itu Keturunan Tionghoa dan Arab ini mempunyai ‘keahlian’ lebih dalam hal
berdagang dan membuka usaha, sehingga kecenderungan ekonomi mereka lebih mapan.
Kemapanan
mereka inilah yang membuat Pemerintah Hindia Belanda khawatir mereka akan
membangkitkan perlawanan dengan masyarakat lokal. Hingga pada akhirnya dibuatlah
pengelompokan pemukiman berdasarkan tiga strata, Pertama Belanda totok atau
Indo, kedua Timur Asing, dan ketiga Pribumi.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Timur
Asing merupakan golongan yang terdiri atas keturunan Tionghoa, Arab, atau
bangsa lainnya yang masih berasal dari Asia. Sehingga sampai saat ini pemukiman
mereka masih bisa kita jumpai di kota – kota besar, Kampung China atau lebih
dikenal Pecinan, juga Kampung Arab. Seperti contoh pecinan Kampung
Ketandan di Kota Yogyakarta, dan Kampung Arab di Pasar Kliwon Kota Solo.
Gambar 2 : Kampung Ketandan Yogyakarta, begitu nampak dengan gapuranya yang menonjol di Jalan Malioboro (Sumber : https://statik.tempo.co/data/2019/02/11/id_818862/818862_720.jpg) |
Dengan
dibuat pengelompokan golongan ini, Pemerintah Hindia Belanda lebih mudah
memantau mereka, bahkan dalam suatu artikel, Penulis pernah mendapatkan
literatur jika Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan surat izin bagi warga
Tionghoa jika ingin keluar dari area pecinan mereka. Padahal hanya untuk
berbelanja.
Namun
pengelompokan ini akhirnya mendatangkan sikap jauh bagi masyarakat lokal. Dahulu
masyarakat lokal begitu dekatnya dengan keturunan pendatang, semakin lambat
laun, generasi berikutnya akhirnya semakin memudar.
Generasi
berikutnya hanya memandang jika keturunan Tionghoa atau Arab, hidup lebih
mapan, lebih nyaman dan lebih baik, sebagai warga kelas dua dibawah Belanda. Sehingga
mereka kerap kali menjadi sasaran kejahatan dari masyarakat lokal yang menjadi
perampok atau pencuri.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Dari
kacamata Keturunan Timur Asing pun begitu, masyarakat lokal dipandang sebagai
warga dengan tingkat kejahatan yang
tinggi. Semakin hilanglah kedekatan harmoni antara masyarakat pribumi dan Timur
Asing, yang terus – menerus mengakar sampai generasi saat ini.
Padahal
dimasa Revolusi Fisik negeri ini, cukup banyak keturunan Tionghoa yang ikut
andil dalam perjuangan. Bahkan saat ini adapula perwira TNI/Polri yang berasal
dari keturunan Tionghoa. Mereka menjadi bagian dari negeri ini tentunya sudah
lahir batin, tidak lagi memandang negera nenek moyangnya. Jika ditanya apakah mereka
berniat untuk melakukan kudeta, Penulis memastikan pasti jawabannya TIDAK.
Beberapa
waktu lalu, Negara Malaysia mengangkat Perdana Menteri (PM) baru bernama Tan
Muhyiddin Yasin, yang setelah ditilik ternyata ia adalah keturunan Bugis. Pemberitaan
media di Indonesia begitu heboh yang bernada ‘kebanggaan’, bahwa Malaysia
mengangkat PM keturunan Indonesia.
Apakah
kebanggaan itu berguna untuk saat ini, tidak. Bapak Yasin tentulah saat ini
akan sepenuhnya memerintah lahir batin untuk Negara Malaysia, tidak lagi
memandang Bugis atau Indonesia sebagai asal nenek moyangnya. Apakah beliau
berniat untuk Kudeta dan menggulingkan pemerintahan Malaysia dari dalam ?. ya
pasti tidak.
Berharap
apa sih bagi media begitu heboh membanggakan keturunan Indonesia ini ?.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Sekarang
kasusnya dibalik.
Jika
masyarakat Indonesia bangga, ada warga keturunan Indonesia yang memimpin Malaysia,
padahal beliau sudah sangat lahir batin memikirkan Negaranya saat ini, maka
apakah sikap masyarakat Indonesia benar, begitu membenci warga Keturunan dari
luar Indonesia memerintah negeri ini?.
Inilah
yang menjadi sulitnya masyarakat Indonesia berpikir logis.
Ada
sebuah pepatah Arab, atau dalam suatu pendapat dikatakan sebagai Hadist
berbunyi demikian, “Tuntutlah Ilmu, Walaupun Sampai Ke Negeri China”. Jika ditelusuri
pepatah ini telah lahir dimasa – masa jauh sebelum generasi saat ini lahir. Pasti
ada maksud dan tujuan mengapa pepatah tersebut muncul.
Atas
dasar inilah, Penulis memberikan pandangan, tidak perlu sampai sebenci itu pada
masyarakat Keturunan Tionghoa.
Saat
ini yang perlu diperbaiki adalah pola pikir, dari kacamata warga Keturunan Timur
Asing, dan juga kacamata masyarakat lokal. Mungkin tidaklah instan, apalagi
ditengah kondisi politik saat ini, terlepas dari pandangan negara Tiongkok yang berideologi komunis.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
Namun apa
salahnya dicoba untuk memperbaiki, kesenjangan dan kesalahan, dari kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda yang akhirnya terus – menerus mengakar dan berdampak
pada paradigma masyarakat Indonesia modern.
------------------------
Schrijver.
Penulis.
Yudha BJ
Nugroho.
Copyright.
2020.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.