Kalung 'Anti Virus Corona' Kementan yang Menyesatkan
tirto.id
- Jarang menjadi sorotan media massa apalagi masyarakat, Menteri Pertanian
Syahrul Yasin Limpo tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang bikin geger. Dia
bicara soal kalung bernama 'Anti Virus Corona Eucalyptus', dibuat oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian.
Sebagaimana namanya, SYL, demikian Syahrul dikenal,
mengatakan kalung ini dapat mematikan Corona dengan kontak. Kontak 15 menit
bisa membunuh 42 persen Corona, dan semakin lama maka lebih banyak yang
tereliminasi. “Kalau setengah jam, dia bisa 80 persen,” klaim Syahrul di
Kementerian PUPR, Jumat (3/7/2020) lalu.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
'Anti virus' ini sebelumnya diklaim telah memperoleh hak
paten. Antara lain Formula Aromatik Antivirus Berbasis Minyak Eucalyptus,
Ramuan Inhaler Antivirus Berbasis Eucalyptus dan Proses Pembuatannya, serta
Ramuan Serbuk Nanoenkapsulat Antivirus Berbasis Eucalyptus.
SYL lantas mengatakan kalung 'anti virus' ini siap diproduksi
massal Agustus mendatang. “Kami yakin bulan depan sudah dicetak, diperbanyak.”
Selain kalung, produk 'anti virus' ini juga bakal hadir
dengan dengan model oles ke bagian luar tubuh.
Diragukan
Segala klaim yang dilontarkan oleh Menteri SYL lekas menuai
tanda tanya dari berbagai pihak.
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM)
Suwijiyo Pramono mengatakan eucalyptus bukan untuk digunakan sebagai obat
dalam. Pemakaian eucalyptus umumnya dioleskan atau dihirup seperti pada produk
minyak kayu putih atau balsem. Dalam eucalyptus terdapat senyawa 1,8-Sineol
yang bersifat antibakteri, antivirus, dan ekspektoran untuk mengencerkan dahak.
1,8-Sineol dikenal luas sebagai komponen kimia utama dalam minyak kayu putih.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Ia tidak memungkiri kalau eucalyptus bermanfaat bagi pasien
COVID-19, lebih tepatnya, zat aktif pada eucalyptus yang dihirup berpotensi
melegakan pernapasan mereka yang mengalami gejala sesak napas dan mengencerkan
dahak.
“Dalam hal ini bisa membantu obat standar yang diberikan
kepada pasien COVID-19 dalam proses penyembuhan, bukan sebagai obat utama,”
kata Pramono lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Senin
(6/7/2020) pagi.
Ia mengatakan kalau dalam riset terdahulu eucalyptus memang
diketahui dapat membunuh virus influenza dan Corona. Tapi, ia menegaskan, virus
Corona yang dimaksud bukanlah SARS-CoV-2 alias COVID-19. “Virus Corona
SARS-CoV-2 ini baru. Dalam uji kementerian kemarin, menggunakan virus itu atau
bukan?”
Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Kementan Evi
Savitri Iriani, yang terlibat dalam penelitian, mengatakan kepada Kompas kalau
mereka memang tidak melakukan uji coba spesifik ke SARS-CoV-2. Alasannya karena
virus itu “belum dapat ditumbuhkan di lab.”
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Pramono menegaskan eucalyptus belum bisa dianggap sebagai
obat atau antivirus atau vaksin COVID-19. Masih diperlukan pembuktian dengan
proses yang panjang hingga pengujian klinis atau tes pada manusia.
“Kalau disebut sebagai obat antivirus COVID-19 belum bisa.
Apalagi kalau digunakan per oral untuk obat tidak direkomendasikan karena jika
dosis penggunaan tidak tepat akan berbahaya,” katanya.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia Tri Yunus Miko Wahyono menegaskan apa yang diproduksi
oleh Kementan hanya jamu dan obat herbal, bukan vaksin yang dibutuhkan untuk
memberantas COVID-19. Terlebih, pengujian yang dilakukan oleh Kementan hanya
sebatas in vitro yang bahkan belum diuji kepada binatang.
“Harus diuji ke binatang dahulu, kalau berhasil, baru
kemudian diuji ke manusia. Tahapnya masih panjang. Dan harus dilakukan oleh
ahli virologi dan ahli farmakologi,” kata Miko saat dihubungi wartawan Tirto,
Senin siang.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Tak hanya itu, penggunaan kalung dan roll on ini juga harus
diinformasikan dengan detil dan jelas oleh pemerintah. Ini penting untuk
mengantisipasi respons masyarakat yang mungkin tidak menerima informasi secara
utuh.
“Jika warga hanya memakainya saja, kemudian abai tanpa pakai
masker, cuci tangan, jaga jarak, jaga kesehatan, dan yakin kalau kalung atau
roll on itu bisa melindungi dari COVID-19, bahaya.”
Memang Bukan
Antivirus
Kepala Balitbangtan Kementerian Pertanian, Fadjry Djufry,
buka suara terkait pernyataan yang dilontarkan atasannya dan bikin heboh
masyarakat. Dalam konferensi pers pada Senin pagi tadi, ia menjelaskan
bagaimana pada akhirnya 'anti virus Corona' itu sampai diperkenalkan ke publik.
Awalnya mereka mendengar ada virus baru dari Cina pada
Januari lalu. Mereka meresponsnya dengan melakukan kajian awal terhadap
beberapa komoditi lewat studi literatur dan penanaman secara langsung.
Setidaknya, kata Fadjry, ada 50 tanaman yang berpotensi menjadi antivirus,
salah satunya eucalyptus.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
“Bahan aktif yang diperoleh kemudian diuji karakteristik dan
kemampuan antivirusnya dengan pengujian in vitro pada telur berembrio. Hasil
pengujian terhadap beberapa bahan aktif menunjukkan bahwa eucalyptus mampu
membunuh 80-100 persen virus influenza dan Corona,” katanya, tanpa menjelaskan
apakah Corona yang dimaksud itu COVID-19 atau bukan.
Hasil dari pengujian in vitro itulah yang akhirnya
dikembangkan menjadi minyak eucalyptus dan dikemas dalam beberapa varian produk
seperti roll on, inhaler, balsam, diffuser, dan kalung aromaterapi.
Temuan ini lantas diujicobakan kepada 16 pasien positif
COVID-19 tanpa dilanjutkan uji klinis. “Kami hanya me-record testimoni mereka
tetapi tidak melakukan pengujian terhadap kondisi kesehatannya,” katanya. Ia
mengaku lembaganya tak memiliki wewenang melakukan uji klinis. Uji klinis harus
dilakukan dan diketuai langsung oleh dokter spesialis paru.
Ia lalu mengatakan sebenarnya izin dari Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) yang dikeluarkan untuk kalung dan roll on tersebut tidak
menyebut antivirus, melainkan “hanya sebagai jamu.” “Ini bukan vaksin. Kalau
memang ini tidak punya manfaat untuk antivirus, paling tidak bisa memperbaiki
pernapasan. Minimal mengurangi gejala dari COVID-19,” tambahnya.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Semua penjelasan ini memperkuat kesimpulan bahwa kalung 'anti
virus' bukanlah antivirus. Antivirus adalah antivirus, dan vaksin adalah
vaksin, bukan yang lain.
Maka, seperti yang seorang warganet katakan, alih-alih
disebut kalung 'anti virus Corona' seperti yang diperkenalkan Menteri SLY ke
publik, lebih baik produk ini disebut 'kalung eucalyptus.'
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
Sumber
: https://tirto.id/fNXK
-----------------
Schrijver.
Copyright.
©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
Subscribe.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.