Nafas Feodal dalam Renjana Penguasa
Kabar
akan digulirkannya kembali Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang
sempat tertunda akibat Pandemi Covid 19 mulai menggeliat. Daerah – daerah yang
dijadwalkan melaksanakan Pilkada di akhir tahun ini, mulai ramai dengan spanduk
– spanduk calon kepala daerah yang saling menunjukkan visi dan misinya.
Bagi
masyarakat awam, pelaksanaan Pilkada bukanlah hal yang mengejutkan. Sejak
dimulainya era otonomi daerah yang memberikan kesempatan bagi daerah, memilih
pemimpinnya secara langsung, rakyat tak ubahnya menyambut hal ini sebagai
bagian dari pesta demokrasi, meskipun ada pula segelintir rakyat yang
melihatnya sebagai ajang nepotisme terselubung.
Deretan Keluarga Presiden. Ilustrasi. Sumber : https://www.rmolbanten.com/images/berita/2020/01/740029_07292713012020_kerabat_jokowi.jpg |
Demikian
halnya yang tahun ini akan terjadi, deretan keluarga penguasa mulai menunjukkan
dirinya ‘merasa’ mampu memimpin daerah. Celakanya, pemimpin negeri ini malah
memberikan jalan dan dukungan dengan dalih demokrasi. Topeng bramacorah seakan
menutup mata penguasa bahwa hal ini akan membangkitkan jiwa – jiwa politik dinasti.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Padahal
jika berkaca dari kejadian yang sempat membuat publik geger adalah Klaten yang
bertahun – tahun hanya ‘milik’ 2 keluarga. Suami dan istri dari dua keluarga
tersebut saling bergantian memimpin Klaten, dengan bersilang antara pemimpin
dan wakilnya. Meskipun memang hal ini tidak dianggap melanggar konstitusi dan
Undang – Undang yang berlaku.
Saat
itu, publik menghujat hal tersebut dan menyebut hal ini dengan politik dinasti.
Hal serupa juga pernah terjadi di Provinsi Banten, meskipun saat itu Ibu Ratu
Atut bukan dijerat atas kasus politik dinasti ini, beserta sang adik Airin Rachmi Diani.
Konstitusi
negeri ini sebenarnya simalakama, tidak pernah melarang seorang keluarga dari
penguasa, menjadi penguasa selanjutnya, atau menjadi penguasa didaerah lain,
dan semua ini berlindung dibalik nama Demokrasi yang seakan sempurna itu. Padahal
derau jalan menuju kekuasaan itulah seakan dilancarkan dengan tangan – tangan
nepotisme.
Seharusnya
Presiden memberikan contoh yang baik atas kejadian ini, bukannya malah
mendukung (meskipun tidak dilarang konstitusi). Adakalanya masyarakat Indonesia
saat ini jengah dengan keadaan yang semakin menguntungkan bagi orang – orang
yang dekat dengan penguasa.
Adalah
Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden yang mencalonkan diri sebagai Walikota
Solo. Bobby Nasution, menantu Presiden yang mencalonkan diri sebagai Walikota
Medan. Saraswati Djojohadikusumo, keponakan dari Menteri Pertahanan yang
mencalonkan diri sebagai Walikota Tangerang Selatan. Wahyu Purwanto yang merupakan adik ipar presiden ini mencalonkan diri sebagai Bupati Kabupaten Gunung Kidul, dan Doli Sinomba Siregar yang merupakan paman dari Bobby Nasution juga bertarung sebagai calon Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan.
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352">
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Lain halnya
jika negara ini dibangun atas dasar feodalisme kerajaan, pastilah rakyat tidak
akan ada yang mengkritik pemimpin negerinya. Tapi jika negara ‘yang
katanya’ demokrasi ini juga menghidupkan kembali nafas – nafas feodalisme,
tunggu saatnya rakyat sadar dan bergerak untuk menuntut kemerdekaannya kembali.
-------------------
Schrijver.
Copyright.
©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
Subscribe.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.