Buruh Diabaikan Pertanda Omnibus Law adalah Agenda Elite Belaka
Baru tahun lalu unjuk
rasa besar-besaran terjadi di Indonesia dengan tajuk #ReformasiDikorupsi.
Ribuan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan menentang Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang baru dan Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hendak disahkan pemerintah-DPR di rapat
paripurna akhir masa jabatan pada September 2019. Kedua aturan itu dianggap
hanya menguntungkan kelompok elite.
Kini masalah yang sama terulang ketika Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka/omnibus law) disepakati pemerintah dan DPR.
Sedikit
publik yang mengetahui bahwa pembahasan revisi UU KPK berjalan di DPR kemudian
disahkan begitu saja. Pembahasan itu juga berlangsung sangat cepat, kira-kira
hanya 15 hari. Hitungan ini dimulai dari rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI
pada 3 September 2019, berbarengan dengan pembahasan usulan revisi untuk
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (biasa
disebut UU MD3) sampai pada pengesahan UU KPK yang baru tanggal 17 September
2019.
Revisi
itu dilakukan tanpa melibatkan pihak
terdampak, yakni KPK. Ketua KPK saat itu, Agus Rahardjo, mengakui tidak ada
kontribusi dari pimpinan KPK terhadap poin-poin revisi tersebut.
Mahasiswa
yang awalnya berniat menolak revisi tersebut merasa kecolongan. Mereka tidak
menyangka bahwa pemerintah dan DPR benar-benar mengebut pembahasan dan tetap
mengesahkan UU KPK yang baru tanpa mempertimbangkan aspirasi mahasiswa dan berbagai
kelompok masyarakat sipil.
“Kami
kecolongan,” kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Dinno
Ardiansyah seperti dilansir Tempo.
“Kami tak mengira DPR-Pemerintah seberani itu.”
Seperti déjà
vu, pemerintah dan DPR sepakat terhadap pembahasan RUU omnibus law pada
malam hari, Sabtu (3/10/2020). Tidak biasanya, pembahasan undang-undang
dilakukan pada akhir pekan dan lebih dari batas waktu aktivitas yang ditentukan
di Gedung DPR/MPR.
Biasanya
kegiatan dibatasi sampai pukul 18.00, tapi rapat dimulai pukul 21.00. Baleg DPR
mengaku tujuan pembahasan itu semata-mata untuk kepentingan rakyat.
Pemerintah dan DPR selangkah lagi berhasil mengesahkan aturan hukum yang menuai
banyak kritik secara senyap dan kilat. Hasil kesepakatan dalam pembahasan ini
akan dibawa ke paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Hanya ada dua partai yang menolak hasil pembahasan dari 9 fraksi partai di DPR.
Mereka adalah Demokrat dan PKS.
Suara Elite Partai,
Suara Investor
Jika
UU KPK saat itu tidak melibatkan pihak terdampak, omnibus law berbeda. Untuk
membahas klaster tenaga kerja, pemerintah dan DPR sudah mengakomodasi organ
buruh dan pengusaha untuk memberi masukan dan mencari jalan tengah dalam
omnibus law.
Namun
KSPSI AGN, KSPI, dan FSP Kahutindo keluar dari tim teknis omnibus law di tengah
pembahasan pada medio 2020. Presiden KSPI Said Iqbal memaparkan alasan mereka
keluar lantaran tidak ada itikad baik dari Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) ataupun Kamar Dagang Industri (Kadin) mencari titik temu kesepakatan.
“KSPI
menolak sikap Apindo/Kadin dan pemerintah yang diwakili Kemenaker, karena tidak
sesuai semangat yang diamanatkan Presiden Jokowi dan keinginan para buruh agar
RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tidak merugikan dan mengeksploitasi
buruh,” jelas KSPI
dalam rilis tertulisnya.
Pada Agustus 2020 DPR bertindak baik dengan mengusahakan tim perumus yang berisikan
Panitia Kerja DPR dan serikat buruh yang keluar dari tim teknis. Menurut Said
Iqbal, serikat yang bergabung dalam tim itu mencapai 32 organ.
Tim
ini, menurut Said, lebih bagus daripada tim teknis pemerintah karena berisikan
buruh yang bisa dengan bebas menyampaikan keberatan.
“Ini
jauh lebih kuat dibandingkan tim teknis yang sudah diundang oleh pemerintah,
yang libatkan beberapa serikat buruh juga, tetapi disana, hanya semacam alat
legitimasi," kata Said seusai rapat di DPR seperti dilansir BBC.
Kehadiran
tim teknis ini sebenarnya baik sebagai bentuk usaha mendengarkan aspirasi dari
seluruh kelompok masyarakat. Joko Riskiyono dalam Pengaruh Partisipasi
Publik Dalam Pembentukan Undang-undang: Telaah atas Pembentukan Undang-Undang
Penyelenggara Pemilu (2016, PDF)
mencatat partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU adalah salah satu bentuk
pemerintahan yang baik.
Namun
sering kali partisipasi itu sekadar untuk memenuhi tahapan pembuatan
undang-undang atau menunjukkan maksud baik. Joko mengutip omongan anggota DPR
periode 2009-2014, Ahmad Yani, bahwa “Pelibatan partisipasi masyarakat di dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan terkesan hanya formalitas belaka.”
Dalam
tulisannya yang lain bertajuk "Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-undangan Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan" (2015), Joko, sebagai tenaga ahli DPR, memandang bahwa
meski sudah ada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, aspirasi masyarakat masih dipandang sebelah mata.
Aturan
hukum di atas seharusnya memberi jalan agar partisipasi masyarakat dilibatkan
dalam pembuatan aturan. Pada praktiknya, “ketentuan ini hanya menjadi
formalitas guna memenuhi prosedur pembentukan undang-undang.” Joko menyatakan,
"[sepatutnya] aspirasi publik dalam pembentukan undang-undang bukanlah
hanya sekedar formalitas, sehingga harus dilaksanakan oleh DPR dan
Presiden."
Sebagian
orang memang menganggap partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang
hanyalah jargon.
Masyarakat bisa menyampaikan masukan, saran, keluhan, bahkan kepentingan
mereka, tapi toh pengetok palunya adalah DPR.
Yang
sulit dijawab adalah seberapa besar dan signifikan sesungguhnya aspirasi serta
partisipasi masyarakat berpengaruh dalam proses pembahasan substansi rancangan
undang-undang yang sedang dibahas?
Joko
paham betul kendati partisipasi masyarakat sudah diberikan jalan, DPR sebagai
perwakilan rakyat dari partai politik “tentu memiliki kepentingan” sebagai
bagian lembaga legislatif. Keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat lebih
sebagai pencitraan belaka. Kejadian di lapangan “partisipasi didominasi kepentingan
politik dari partai politik atau
golongannya, dibandingkan kepentingan masyarakat.”
Dalam
omnibus law, kepentingan yang diakomodasi pemerintah dan DPR dalam pembentukan
aturan ini jelas investor. Pemerintah dan DPR menginginkan ada pemangkasan
sejumlah regulasi untuk mempermudah investasi
di Indonesia. Dari situ barulah buruh mendapat manfaat. Salah satu hasil
investasi itu adalah terbukanya lapangan pekerjaan.
Ketua
Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum indonesia (YLBHI) Asfinawati sejak awal
sudah gigih mendesak pemerintah dan DPR menghentikan—bukan menunda—pembahasan
omnibus law. Selain karena minimnya pelibatan masyarakat sipil dalam merumuskan
masalah, tujuan pemerintah dalam pembuatan RUU ini bisa menyimpang dari
kepentingan tenaga kerja.
"Betulkah masalah utamanya
itu adalah soal tidak adanya lapangan kerja atau masalah investasi karena hiper
regulasi?
Atau
pertanyaan turunan lagi, apakah RUU Omnibus Law ini betul-betul menghilangkan
hiper regulasi? Padahal, kalau RUU Omnibus Law ini disahkan, akan ada ratusan,
lima ratusan lebih peraturan turunan—ini bukannya hiper regulasi lagi?"
kata Asfinawati seperti dilansir BBC.
Sedangkan
Serikat buruh seperti KSPI dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek
Indonesia) merasa kepentingan mereka tidak terwakili dalam omnibus law yang
bakal disahkan DPR dalam rapat paripurna hari ini, Senin (5/10/2020). Presiden
Aspek Indonesia Mirah Sumirat menganggap keberpihakan pemerintah dan DPR memang
tidak kepada pekerja. Aspirasi mereka hanya menjadi saran, tapi jauh panggang
dari kebijakan.
“Saat
pembentukan tim kerja, perwakilan kami bertanya apakah nanti draft yang disusun
bersama dengan kami nanti akan jadi rujukan dan pegangan sah di DPR, pemerintah
bilang: tidak, ini hanya menampung saran. Jadi memang sudah setengah hati dan
nggak niat,” kata Mirah seperti dicatat Tempo.
Beda
dengan buruh, sampai hari ini, baik Kadin dan Apindo selaku pengusaha tidak
ramai menunjukkan keberatan mereka pada omnibus law. Bagaimanapun, mereka, para
pengusaha dan investor, adalah pelaku utama yang diakomodasi pemerintah dalam
omnibus law.
Mengabaikan Aspirasi
Buruh
Ada
beberapa aturan yang menurut KSPI tak layak disahkan, antara lain:
pesangon yang jumlahnya berkurang dari 32 kali menjadi 25 kali, dibayarkan oleh
perusahaan dan pemerintah; Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak
diatur batas waktunya dalam omnibus law; dan penjabaran bidang-bidang kerja
untuk outsourcing yang belum jelas—sebelumnya outsourcing hanya
berlaku di 5 bidang pekerjaan, tapi omnibus law tidak tegas menyebut demikian.
Dalam
rancangan omnibus law yang baru juga ditetapkan bahwa perusahaan boleh mematok
hari kerja hingga 6 hari dengan syarat waktu kerja 7 jam dalam 6 hari dengan
total 40 jam kerja. Cuti haid juga tidak diatur dalam omnibus law. Menteri
Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan hal itu nantinya akan mengikuti aturan
di UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun
ini tidak bisa jadi jaminan. Sebelumnya, pemerintah dan DPR menetapkan besaran
maksimal uang penghargaan adalah 8 kali upah dalam omnibus law. Jika merunut
pada UU Ketenagakerjaan, maka seharusnya maksimal 10 kali upah. Dalam revisi
yang teranyar, DPR dan pemerintah memperbaiki poin ini seperti yang ada di UU
Ketenagakerjaan. Kenihilan masalah cuti haid dan hamil dalam omnibus law bisa
menjadi perkara lain ke depan karena bentroknya aturan hukum.
Poin
yang masih menjadi masalah bagi buruh ini tak banyak dihiraukan DPR dan
pemerintah. Selama kurang lebih 9 bulan, pemerintah sudah merampungkan
pembahasan 10 klaster yang ada di omnibus law. Pembahasan klaster
ketenagakerjaan menjadi yang paling buntut menilik perdebatan yang alot. Tapi
ternyata, pembahasannya tidak sesulit itu bagi pemerintah dan DPR.
Sejak
dimulainya pembahasan pada 25
September 2020, pemerintah dan DPR hanya butuh 9 hari untuk bisa menyelesaikan
pembahasan. Meski menurut buruh masih banyak masalah, toh sebagian
besar fraksi di DPR tak keberatan. Padahal Fraksi Partai Demokrat sudah
mengingatkan pengesahan omnibus law terlalu buru-buru. Jika ditelaah satu per
satu pasal dalam omnibus law, banyak ketentuan yang belum jelas tapi dilempar
penyelesaiannya ke Peraturan Pemerintah daripada omnibus law.
"Fraksi
Partai Demokrat menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini. Kami menilai banyak hal
harus dibahas kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Kita tak perlu
terburu-buru," kata Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Hinca
Panjaitan.
Dari
pembahasan sampai pengesahan, DPR hanya perlu mengambil waktu dua hari. Tepat
hari ini, Senin (5/10/2020), DPR sudah menjadwalkan rapat paripurna untuk
pengambilan keputusan soal omnibus law.
Ini
baru bicara soal buruh saja. Masih ada perkara lain yang membelit omnibus law
seperti masalah pertanahan dan lingkungan.
Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto awalnya mengatakan bahwa
masih ada waktu bagi PKS dan Demokrat untuk berdialog dengan pemerintah terkait
omnibus law. Siapa sangka waktu dialog itu tak sampai 48 jam. Belum lagi jika
menghitung hari Minggu seharusnya masuk hari libur.
Dengan
paripurna hari ini, masyarakat, terkhusus organ buruh, memang kecolongan.
Kebanyakan dari mereka baru melaksanakan aksi protes dan mogok kerja pada 6-8
Oktober 2020. Sebelum itu terjadi, pemerintah dan DPR sudah mengambil
keputusan.
Sekeras
apapun protes dan usaha buruh menolak omnibus law, jika pemerintah dan DPR
sudah satu suara, omnibus law—dengan segala polemiknya—tetap akan berlaku. Sama
seperti UU KPK dahulu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan
----------------
Schrijver.
Copyright. ©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All
Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.