Ketika Aparat Penegak Hukum Berebut Kuasa atas Spanduk Digital Printing dan Baliho
Telaah
Khusus Kedatangan ‘Seseorang’ dengan Kondisi Perpolitikan Dalam Negeri
Bulan November, sejatinya menjadi momentum nasional dalam memperingati Hari Pahlawan. Perayaan upacara dengan menaikkan bendera setengah tiang dan mengheningkan cipta sejenak, tentu menjadi momen yang sangat sakral, barang tentu dalam waktu sehari.
Belum hilang dalam ingatan masyarakat, ada
dua berita dalam momen yang berbeda keadaan, namun menggemparkan jagat negeri sebagai
peristiwa yang heboh. Satu berita dibuat dalam keadaan ‘senyap’, dan yang satu
lagi dibuat dalam keadaan ‘ramai’.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Berita keadaan ‘senyap’ adalah kasus video
asusila yang diduga mirip dengan salah seorang artis ternama. Penulis
menggolongkan sebagai keadaan ‘senyap’ ya karena memang video tersebut dibuat
hanya berdua saja, dalam kondisi yang sepi. Video tersebut begitu viral di
media sosial twitter, hingga menjadi trending selama beberapa hari. Kasus ini
pun tengah ditangani oleh Polda Metro Jaya berdasarakan laporan dari sekelompok
masyarakat.
Sedangkan, berita keadaan ‘ramai’, adalah
mengenai kedatangan seorang ulama yang selama 3 tahun terakhir bermukim di
Negara Saudi Arabia. Terlepas dari anggapan beliau ditahan oleh otoritas
setempat, dicekal oleh Indonesia, atau memang sengaja bermukim, namun
kedatangan beliau kembali ke Indonesia memang menjadi penghias pemberitaan
media setiap hari, seakan tidak ada berita lain yang akan menaikkan rating
pemirsa selain meliput tentang ini.
Untuk kasus kedua, sepertinya masih menjadi ‘pundi
– pundi’ rupiah bagi media massa nasional, karena semakin hari semakin banyak
tafsiran yang dengan cepat berkembang. Seakan membolak – balikkan pemikiran
masyarakat untuk condong atau abai atas berita tersebut. Sedangkan berita
pertama, justru tenggelam, kalah pamor, dan lihat saja suatu saat nanti ia akan
terlupakan begitu saja, padahal bisa jadi kasus tersebut benar adanya.
Dikait – kaitkan dengan Pandemi Covid – 19 lah
cabang dari berita kedua. Sampai Gubernur, selaku pemimpin daerahpun diperiksa
oleh yang berwajib, karena dianggap lalai, dan sebelumnya, Kapolda di 2 daerah
telah dicopot dan dimutasi, dengan dalih serupa.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Menjadi perhatian Penulis adalah ada seorang
pemimpin komando keamanan kewilayahan di wilayah yang sama, seakan ‘Panik’,
atas pencopotan rekan seprofesi beda matra ini. Seketika ia mengaku memberi
perintah pada anggota pasukannya untuk mencopoti spanduk dan baliho yang ‘katanya’
tidak sesuai kaidah tata ruang, dan abai terhadap pajak.
Pencopotan Baliho oleh Aparat TNI. Ilustrasi. Sumber : https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2020/11/20/bawa-panser-prajurit-tni-copot-spanduk-habib-rizieq-7_169.jpeg?w=700&q=90 |
Bagi Penulis, ia dinilai ‘Panik’ karena
ingin dianggap ‘tidak lalai’, sehingga posisinya akan aman dari pencopotan,
tidak seperti rekannya yang berbaju cokelat. Serta melihat dari pemberitaan dan
video yang menunjukkan ‘kegarangan’ pasukannya mencopoti baliho, seakan semakin
menunjukkan kesungguhannya.
Padahal seperti kita ketahui, penegakan aturan
spanduk dan baliho ini diranah Satuan Polisi Pamong Praja, masa iya, Satpol PP
menyerah dan meminta bantuan pasukan ini untuk mencopoti baliho?. Apakah mencopoti
baliho saja harus pula memakai konvoi kendaraan taktis perang?.
Disuatu media ia mengaku berinisiatif, tapi
baru – baru ini di media yang sama ia mengaku mendapat laporan jika Satpol PP
meminta bantuan.
Jadi, yang benar yang mana?.
Jika alasannya tidak membayar pajak, namun
ada pula baliho yang terpasang pada reklame resmi juga dicopot?. Reklame resmi
tentu membayar sewa, dan pajak tentu telah dibayarkan oleh pemilik reklame. Terus
cari alasan lain lah, ‘kata – katanya tidak sesuai’.
Yah,
kamu atur ajalah,
Penulis menduga, ulama yang baru datang ini,
sangat bisa memberi pengaruh pada masyarakat banyak. Jika dilihat, ia bukanlah
tokoh sentral politik, namun begitu mudahnya ia mengumpulkan jutaan massa dalam
waktu sehari saja, bukankah membuat khawatir?. Bagaimana jika pengaruh tersebut
akan membawa pengaruh pula bagi kekuasaan yang ada sekarang, padahal sebentar lagi
akan digulirkannya Pilkada serentak.
Sebenarnya masing – masing kubu politik
pasti berpikir mendapatkan pengaruh beliau dalam mengumpulkan massa, entah
merapat atau sekadar bersilaturahmi seperti yang dilakukan beberapa tokoh
politik.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
<ins class="adsbygoogle"
style="display:block; text-align:center;"
data-ad-layout="in-article"
data-ad-format="fluid"
data-ad-client="ca-pub-3030644623537642"
data-ad-slot="6345313352"></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Tapi ada pula yang berpikir dengan cara
lainnya, karena ‘gengsi’, masa iya silaturahmi dan merapat pula ke beliau,
padahal dibeberapa tahun terakhir sangat berseberangan pemikiran. Maka dipakailah
cara sakti, yaitu pembungkaman, tenggelamkan pamornya, dan ubah mindset masyarakat terhadap orang
tersebut, dari yang menerima menjadi menolak.
Kerumunan – kerumunan yang selalu dikaitkan
dengan lalai dalam penegakan protokol kesehatan, sangat berbeda jika dilihat
dari kejadian kerumunan yang telah terjadi. Seperti halnya kerumunan saat pendaftaran
calon Pilkada di daerah yang menjadi basis politik pemerintah, dan lagi anggota
keluarga. Peristiwa ini seakan menguap dan dianggap bukan kesalahan. Media massa
pun tidak berani memberitakan dan mengangkat kasus ini, karena seperti kita
tahu, media juga saat ini menjadi speaker
politik pemerintah.
Sudah jelas berita yang tampilkan harus
sesuai dengan ‘maunya’ sang pemegang kekuasaan.
Kita lihat saja, duduk manis didepan
televisi, anggap saja sinetron cerita bersambung dari lakon yang tak kunjung
mencapai episode akhir, selalu ada konflik baru. Semakin panjang, semakin
berkembanglah isi dompet media.
----------------
Schrijver.
Copyright. ©. 2020. Yudha BJ Nugroho. All
Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.