Boleh Mengkritik, Tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku
Boleh Mengkritik, Tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku
Baru – baru ini pemerintah mengeluarkan pernyataan mengejutkan
terkait dengan ‘kritik’. Ya, tanpa ada angin dan hujan secara mengejutkan,
Presiden dalam pidatonya meminta masyarakat untuk mengkritik kinerja
pemerintah, sekiranya ada yang kurang atau tidak sesuai dengan yang diinginkan
masyarakat.
Bila dilihat, pernyataan ini tentu bagus, artinya pemerintah
tidak ‘buta’ akan kritik, dan kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi.
Namun, jika melihat kejadian sebelumnya, sangat bertolak belakang.
Banyak aktivis dan para kritikus yang justru ditangkap dan di
jerat dengan pasal tuduhan makar serta UU ITE. Bagi Penulis sendiri, kritik dan
keluhan sebenarnya hal yang tipis sekali perbedaannya. Seseorang cenderung
memberikan kritik secara spontan jika orang tersebut tidak mendapatkan manfaat
langsung dari apa yang dikritiknya.
Namun adakalanya kritik yang spontan tersebut justru terlihat
lebih ‘bersuara’ ketimbang kritik yang benar – benar berbobot. Kok bisa ?.
Karena mayoritas pemikiran masyarakat Indonesia saat ini,
cenderung menyaksikan hal yang sangat timpang. Ada pemberitaan jika ekonomi
menguat, namun yang dirasakan justru harga - harga yang semakin mahal.
Lain
halnya dengan kasus hukum, sering dan sangat sekali kita mendengar jika hukum
harus ditegakkan setara tanpa pandang bulu, namun nyatanya tetap saja hukum
dapat dibeli, tajam kebawah.
Dan, kecenderungan kritikan ini menjadi ‘bersuara’ karena lebih
banyak dukungan terkait dengan keluhan yang sama. Kalau mengkritik hanya
mengkritik tanpa memberikan solusi atau hal yang lebih baik, itu gampang.
Kritik yang baik, tentunya harus mengedepankan nilai dan norma.
Penulis dalam kapasitasnya bukan memfokuskan pada kebijakan
‘silahkan kritik’ ini, namun berpandangan atas keputusan apa yang tiba – tiba
saja membolehkan kritik ini. Apa yang membuat pemerintah membolehkan kebijakan
ini?. Mungkinkan ini karena keputusan politis atau hanya iseng – iseng belaka?.
Pemerintah tentu memiliki lembaga internal yang melakukan survey
terkait dengan kepercayaan masyarakat atas kinerjanya selama ini, termasuk pula
dalam menyikapi kritikan. Entah hasil apa yang didapat, tentunya ini sangat
berarti jika kuasa politik yang ada saat ini masing ingin memegang kuasa 100 tahun
lagi.
Terlepas dari itu semua, bukan dari sisi kritiknya, apakah
pemerintah saat ini sudah menjadi pendengar yang baik. Kritikan tentu akan ada
setiap hari, namun apakah sudah didengar pemerintah?.
Menjadi pendengar yang baik, itu lebih sulit dari pada menjadi
kritikus yang handal. Berapa banyak contoh penyampaian pendapat dimuka umum
yang berakhir dengan kekerasan aparat sendiri. Gebukan, tendangan, meskipun
bukti digital tersebut sudah banyak berseliweran pun masih tetap disanggah.
Omnibus Law, Revisi UU KPK, dan lain sebagainya, apakah didengar
demo yang berlangsung, toh nyatanya
tetap saja disahkan.
---------------
Schrijver.
Copyright. ©. 2021. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.