Mulai Rusaknya Negeri yang Berlindung Dibalik Kata Demokrasi
Ilustrasi. Sumber : https://static.dw.com/image/51890664_605.jpg |
Gejolak hingar-bingar pesta demokrasi di negeri ini mulai terasa sejak beberapa partai politik mulai membentuk koalisi dan menetapkan calon Presiden jagoannya untuk bertarung di Pemilu 2024. Sudah ada 3 calon nama yang telah diperkenalkan ke public dan dipromosikan oleh relawan masing-masing disetiap kegiatan akar rumput.
Salah satu calon Presiden yang dicalonkan berasal dari kalangan kader partai yang sama dengan presiden saat ini serta telah mendominasi selama dua periode. Ada tendensi yang berkembang jika Pemilu 2024 ini, sudah ‘direncanakan dan didesain’ untuk dimenangkan kembali oleh Partai yang sedang berkuasa.
Jika memang ini yang terjadi maka bibit – bibit kembalinya orde baru memasuki tanda-tanda mulai bersemi. Bagaimana tidak, dalam 2 dekade kebelakang saja, Presiden dan keluarganya dengan kendaraan Partai Pengusung yang sama telah mendapatkan 7 kali kemenangan tanpa putus, yaitu 2 kali menjadi Walikota Solo, 1 kali menjadi Gubernur DKI, dan 2 kali menjadi Presiden RI. Diluar itu Partai Pengusung juga mengantarkan sang anak menang menjadi Walikota Solo, dan sang menantu menjadi Walikota medan.
Secara konstitusi hal ini sah, dan tidak sama sekali melanggar undang – undang, karena pemilihan ini terjadi dengan Pemilu dan Pilkada yang sesuai aturan dan sesuai pula dengan jalur demokrasi.
Namun benarkah demikian?.
Sejarah negara ini telah mencatat, bahwa dibalik nama demokrasi ada seseorang yang pernah menjadi pemimpin selama 32 tahun lamanya tanpa putus, dan sah pula dipilih melalui Pemilu yang juga dilangsungkan setiap 5 tahun. Ketika orang tersebut terpilih dan terpilih lagi, sama sekali tidak melanggar konstitusi yang ada di negara ini. Namun, lambat laun banyak orang yang sadar bahwa ada sesuatu yang salah dalam system kenegaraan saat itu.
Begitu pula dengan yang Penulis sadari atas apa yang saat ini terjadi. Dahulu kepemimpinaan hanya dipegang oleh sang ayah di satu posisi saja, saat ini sang ayah pernah mencicipi berbagai posisi kepemimpinan, ditambah anak dan menantu yang juga menduduki jabatan pemimpin daerah.
Kasusnya memang berbeda, disetiap posisi jabatan tidak lebih dari 2 periode menjabat, ditambah Politik Dinasti yang secara tidak sadar, mulai dibangun pemimpin saat ini. Partai Politik (Parpol) juga berangsur berubah haluan dari yang seharusnya merupakan badan hukum public, kini sebagian besar cenderung menjadi badan privat, karena menjadi “milik” tokoh atau individu tertentu yang memiliki sumber daya tak terbatas.
Memulihkan marwah Parpol seperti sediakala sejatinya mengembalikan arah dan tujuan Parpol itu sendiri yang telah dikangkangi oleh segelintir elite oligarkis yang akhirnya menguasai proses politik, termasuk penentuan kebijakan dan calon yang bertarung dalam lingkup legislatif dan eksekutif di tingkat daerah maupun nasional.
Republik dan Demokrasi
Negara Republik dengan system Demokrasi sejatinya mengharapkan perubahan system kenegaraan yang dianggap lebih baik untuk menggantikan system monarki atau feodalisme yang sebelumnya pernah ada di negeri ini bertahun – tahun lalu. Kekuasaan monarki yang terpusat pada kepemimpinan dan titah seseorang, baik dalam hal kebijakan dan arah negara hingga hukum yang berlaku.
Monarki dan Feodalisme adalah satu kesatuan system yang didasarkan antara Tuan yang bertindak sebagai kepala negara, dan pengikut yang bertindak sebagai pembantu kepala negara. Jabatan ini semuanya diwariskan oleh keturunan langsung secara turun – temurun, sehingga melahirkan gap antara klan bangsawan dan rakyat jelata.
Bila dahulu, raja dan keturunannya akan menjadi kepala negara atau pemimpin, sedangkan pembantu kepala negara ini menjadi patih, penasehat raja, abdi dalem, dan Menteri. Bahkan ada pula keluarga raja yang ditunjuk sebagai Bupati, atau Wedana didaerah – daerah kekuasaan raja. Kesemua jabatan ini diwariskan.
Mimpi system demokrasi pada awalnya adalah adanya pergiliran elit, baik ditingkat pemimpin maupun pembantu. Sehingga lambat laun tercipta kesetaraan agar setiap warga negara berhak menduduki jabatan pemerintahan, dan menghilangkan gap serta anggapan bangsawan dan rakyat jelata. Namun mimpi ini sepertinya berangsur bergeser setelah hampir setengah abad negara ini merdeka.
Mulai terlihat saat negara ini dipimpin selama 32 tahun oleh presiden kedua hingga digulingkan dengan peristiwa Reformasi di tahun 1998. Terselip pula saat itu untuk mengembalikan arah demokrasi negara ini seperti mimpinya diawal kemerdekaan. Tapi sepertinya harapan perubahan ini tak juga membaik. Elit politik negara ini tetap diisi oleh orang yang sama atau kelompok golongan yang sama. Mereka berusaha untuk tetap langgeng dalam jabatannya selama tidak melanggar konstitusi. Padahal konstitusi pun bisa diubah, namun apakah itu bisa jika yang memutuskan untuk mengubah itupun tak menghendaki demikian?.
Menurut Penulis, UUD ’45 ini sebaiknya diamandemen kembali. Jika amandemen yang telah ada sudah memutuskan jika presiden hanya bisa dipilih 2 periode, maka perlu juga jika kelompok Parpol pemenang pemilu hanya dibatasi 1 periode saja. Artinya jika pemilu tahun ini diadakan dan menghasilkan parpol pemenang, maka di tahun politik selanjutnya parpol pemenang ini tidak boleh mengikuti pemilu lagi, dan menghasilan parpol pemenang baru. Begitu seterusnya.
Jika demikian, tentu elit politik diatas juga akan bergilir, tidak melulu orang orang itu saja, atau dari parpol tertentu saja.
Ingat, kebaikan itu juga ada batasnya, jika kebaikan itu dianugerahi pada manusia, pada awalnya ia akan baik, tapi jika terlalu lama, pikiran setan juga akan muncul akhirnya.
---------------
Schrijver.
Copyright. ©. 2023. Yudha BJ Nugroho. All Right Reserved.
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.