Pilkada 2024 Serentak di Indonesia, Namun Apakah Pesta Demokrasi Ini Sudah Sempurna Sesuai dengan Makna Demokrasi? - yudhabjnugroho™

Header Ads

  • Breaking News

    Pilkada 2024 Serentak di Indonesia, Namun Apakah Pesta Demokrasi Ini Sudah Sempurna Sesuai dengan Makna Demokrasi?

    Potret TPS 004 Kelurahan Gunung Samarinda Baru Tempat Penulis Menggunakan Hak Pilihnya Pada Pilkada 2024. (Dok. yudhabjnugroho)

    YUDHABJNUGROHO – Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada 2024) hari ini Rabu, 27 November 2024 berlangsung serentak diseluruh Indonesia. Dimulai dari jam 08.00 hingga 13.00 waktu setempat.

    Pilkada tahun ini merupakan pertama kalinya digelar serentak diseluruh Indonesia. Hal ini terjadi karena memang ‘dipaksakan’. 

     

    Sebagaimana kita ketahui, beberapa daerah di Indonesia sebenarnya sudah banyak yang masa jabatan Kepala Daerahnya berakhir di tahun 2022 dan 2023. Daerah tersebut seharusnya sudah menggelar Pilkada kembali, namun digantikan dengan Pejabat Sementara.

     

    Pilkada tahun ini, Penulis menggunakan hak pilihnya di TPS 004 Kelurahan Gunung Samarinda Baru, Kecamatan Balikpapan Utara. Hujan rintik sempat mewarnai Pilkada di tempat Penulis memilih, yang pada tahun ini memilih Calon Gubernur Kalimantan Timur dan Calon Walikota Kota Balikpapan.

     

    Gelaran Pilkada ini tentu memperpanjang sejarah kontestasi ini dengan prestasi demokrasi, bahwa warga memilih pemimpin daerahnya secara langsung.

     

    Namun, apakah ‘Demokrasi’ yang telah diselenggarakan ini sudah sempurna?.

     

    Demokrasi sejatinya adalah sistem yang dimaksudkan untuk memberi ruang berpendapat, berpikir, dan berekspresi setiap warga negara. Sistem ini juga akhirnya mengedepankan rakyat sebagai aktor utama dalam pengambilan keputusan sebuah negara.

     

    Abraham Lincoln yang merupakan Presiden ke-16 Amerika Serikat mengemukakan, sistem pemerintahan demokrasi ini diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

     

    Sehingga dalam penyelenggaraan negara demokrasi, suara rakyat adalah keputusan bersama yang wajib diambil. 

     

    Kembali pada persoalan Pilkada serta Pemilu di Indonesia. Kontestasi yang diikuti hampir seluruh daerah di Indonesia ini juga diisi oleh tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang.

     

    Ada yang pejabat negara, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengundurkan diri, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga petahana yang coba mengadu nasib kembali.

     

    Peserta kontestasi haruslah diusung oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan dengan dukungan masyarakat, yang kesemuanya diatur oleh undang-undang yang berlaku.

     

    Hingga akhirnya ada pula daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon saja, karena gabungan partai politik pengusung, sepakat hanya mendukung satu calon tersebut dan tidak ada calon lain yang mencoba mendaftar.

     

    Pada kasus ini, tentu satu pasangan calon tersebut haruslah melawan kotak kosong. 

     

    Kotak kosong ini adalah representasi ‘lawan’ dari pasangan calon tersebut, yang pada akhirnya jika kotak kosong tersebut nantinya memperoleh suara dominan, maka daerah tersebut tidak dipimpin oleh pemimpin daerah langsung, namun ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri.

     

    Secara tersirat tentu ini dianggap ‘solusi yang demokratis’ dalam menghadapi kondisi pasangan calon tunggal. Memilih kotak kosong bukan merupakan suatu pelanggaran. 

     

    Kontestasi Pemilu hingga Pilkada juga diwarnai oleh fenomena Golongan Putih atau golput, yang mana ini adalah suatu istilah bagi seseorang yang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya meskipun ia telah terdaftar dalam Daftar Pemilih.

     

    Seharusnya golput ini pun bukan suatu pelanggaran. Memilih untuk golput juga merupakan suatu pilihan, yang seharusnya juga dihargai dalam sistem demokrasi. 

     

    Namun, golput oleh negara ini masih dianggap suatu pelanggaran yang tak tertulis, meskipun tidak ada hukuman yang akan diterima oleh sang pemilih golput.

     

    Jika golput dianggap suatu perbuatan tercela, mengapa tidak menghadirkan kotak kosong di setiap penyelenggaraan pemilu atau pilkada, bukankah kotak kosong juga representasi demokrasi?.

     

    Sejatinya menyediakan kolom kotak kosong ini wajib di setiap penyelenggaraan pemilu dan pilkada, meskipun calon kontestasi bukan merupakan pasangan calon tunggal.

     

    Jika hanya pasangan calon yang dimunculkan tanpa adanya kolom kotak kosong, bukankah akhirnya pemilih menjadi ‘tersandera’ dalam pilihan itu saja?, bagaimana jika dalam hati pemilih tersebut, semua pasangan calon yang dihadirkan tidak berhasil mengambil hati si pemilih?.

     

    Akhirnya bukan tujuan demokrasi yang terjadi, yang ada justru pemaksaan. Karena pemilih ‘dipaksa’ memilih salah satu dari pilihan yang ada, dan hanya itu saja pilihannya tidak ada yang lain.

     

    Mungkin mayoritas pembaca akan bertanya, jika seandainya pemilu presiden menghadirkan kotak kosong dan kotak kosong yang menang, lantas siapa yang bertanggung jawab sebagai pemimpin negeri?.

     

    Jika ini terjadi, maka DPR selaku ‘perwakilan rakyat’ untuk menunjuk pejabat negeri dalam hal ini akan bertanggung jawab sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan yang akan memerintah secara bersama-sama sebagai pemimpin negeri.

     

    Mungkin semua berpendapat dirasa ‘ribet’ dan merepotkan, namun bukankah mengurus negara itu ya memang sejatinya ribet dan merepotkan?. Dan karena ribet dan repot itulah pejabat negara digaji dari pajak.

     

    Kembali ke tujuan demokrasi, yang mengakomodir seluas-luasnya kehendak rakyat, termasuk kehendak pemimpin negeri. Menghadirkan kotak kosong ini akan menjadi bahan introspeksi bagi partai dan calon yang diusung partai.

     

    Pemilih kotak kosong tentu adalah para pemilih yang sudah tidak percaya atas partai yang cenderung menguntungkan sejumlah golongan saja.y©

    No comments

    Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad