Oplosan atau Blending
YUDHABJNUGROHO – Saya merasa terkejut saat membaca pengumuman resmi dari Kejaksaan Agung terkait Pengelolaan Minyak di Pertamina. Dalam satu poin, Kejaksaan mengungkapkan salah satu cara yang digunakan: tersangka RS (Riva Siahaan), Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, mengakuisisi BBM RON 90 dengan harga RON 92. Kemudian, untuk mengubahnya menjadi RON 92, dilakukan proses pencampuran di Storage/Depo.
Cerita ini langsung menjadi isu besar: Pertamina mencampur BBM. Menggabungkan ini menimbulkan kesan ilegal atau curang. Kualitas produk yang dihasilkan tidak dapat dipastikan. Sebagai contoh, ada beras yang dicampur, minyak goreng yang dicampur, minuman keras yang dicampur. Publik marah, apakah mungkin Pertamina melakukan pencampuran BBM? Apakah itu benar?
Saya ingin mengurai masalah ini agar lebih terang permasalahannya.
Pertama, Indonesia telah resmi menjadi negara pengimpor minyak bersih sejak tahun 2004. Hal ini disebabkan oleh selisih antara produksi dan konsumsi. Dari tahun 1998 hingga 2023, konsumsi rata-rata meningkat sebesar 2% setiap tahunnya, sementara produksi menurun rata-rata 3% setiap tahun.
Selama sepuluh tahun terakhir (2003-2023), jumlah rata-rata produksi minyak hanya 734 ribu barel per hari (bph), sedangkan konsumsi mencapai 1,5 juta bph. Pada tahun 2023 saja, produksi berada di angka 605 ribu bph, sedangkan konsumsi mencapai 1,6 juta bph. Selisihnya semakin besar.
Ada isu lain: tidak semua minyak yang diproduksi merupakan milik Pemerintah. Saya telah menghitung, selama periode 2002-2023, porsi Pemerintah dari produksi minyak rata-rata hanya 51,1%. Selebihnya dimiliki oleh kontraktor, termasuk Pertamina.
Pada tahun 2023, dari total produksi 605 ribu bph, 265 ribu bph dihasilkan oleh Pertamina. Ini adalah jumlah yang dapat langsung didistribusikan dan diproses di pabrik-pabrik Pertamina. Kontraktor lainnya hanya diharuskan untuk menyuplai 25% untuk kebutuhan domestik. Selebihnya terserah pada mereka. Apabila Pertamina ingin mengambilnya, mereka perlu membeli dengan harga pasar. Jika tidak, mereka dapat mengekspor.
Pada tahun 2018, Menteri ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 42 Tahun 2018 mengenai Prioritas Penggunaan Minyak Bumi untuk Kebutuhan Dalam Negeri.
Pertanyaannya adalah, jika seluruh produksi diarahkan untuk pasar domestik, apakah akan mencukupi? Jawabannya adalah tidak. Anda pasti tahu, produksi hanya mencapai 600 ribuan, sedangkan konsumsi 1,6 juta. Di sinilah permasalahan dimulai: Indonesia harus melakukan impor.
Kedua, ada dua tipe impor: impor minyak mentah (crude) dan impor produk dari kilang.
Impor minyak mentah dikelola oleh subholding Pertamina yang dikenal sebagai PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).
Sementara itu, impor produk dari kilang dikelola oleh subholding Pertamina lainnya, yaitu PT Pertamina Patra Niaga (PPN). KPI bertugas mengolah bahan baku menjadi berbagai produk hilir, mulai dari BBM, LPG, nafta, propylene, propane, etane, hingga produk petrokimia lainnya.
Di sini, ada tahapan seperti distilasi, konversi, pengolahan, dan formulasi. Intinya, senyawa hidrokarbon diubah, diadaptasi, dimurnikan, dan dicampur dengan bahan aditif untuk menghasilkan produk kilang dengan spesifikasi tertentu. Ini merupakan proses pencampuran yang sepenuhnya legal.
Lalu, mengapa ada proses pencampuran oleh Pertamina Patra Niaga/PPN? Ini adalah pertanyaan yang perlu dijawab!!
PPN memiliki tugasan untuk mengimpor produk dari kilang yang telah siap untuk didistribusikan. Misalnya, PPN mengimpor RON 90 untuk Pertalite, dan RON 92 untuk Pertamax. Produk tersebut sudah dalam bentuk tersebut.
Apakah pencampuran produk mungkin dilakukan? Bisa saja. Sebagai contoh, jika PPN mengimpor RON 90 dan mencampurnya dengan octane booster. Kandungannya adalah senyawa kimia organik tertentu seperti metil, butil, dan etanol. Hasilnya akan menjadi RON 92. Hasil ini akan dikalibrasi oleh Lemigas.
Ini adalah proses pencampuran, bukan sekadar penggabungan. Metodenya adalah ilmiah. Saya tahu Pertamina memiliki fasilitas untuk mencampur minyak di tiga TBBM: Tanjung Uban, Semarang, dan Jakarta. Pertamina juga memiliki sejumlah kilang untuk mencampur diesel dengan FAME agar menjadi biodiesel. Proses ini legal dan berbasis ilmiah. Oleh karena itu, saya beranggapan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terkait produk BBM dari Pertamina.
Ketiga, inti dari permasalahan bukanlah proses pencampurannya yang telah mengakibatkan banyak kecurangan. Masalahnya terletak pada dugaan bahwa PPN mengimpor RON 90 tetapi dikenakan harga RON 92.
Terdapat indikasi bahwa oknum PPN dan KPI bekerja sama untuk mengatur jumlah impor tertentu dengan cara tidak menyerap hasil produksi minyak dari kontraktor lokal.
Saya sudah lama bertanya-tanya, mengapa kita telah menjadi importir bersih, tetapi tetap saja menghasilkan minyak dalam negeri yang diekspor? Jawaban yang diberikan adalah bahwa sebagian dari minyak tersebut tidak memenuhi spesifikasi untuk kilang lokal. Saya menerima penjelasan itu tanpa kritis. Namun, saya tetap meragukannya. Saya berkonsultasi dengan seorang ahli kimia. Kilang yang memiliki kompleksitas tinggi, seperti Balongan, mampu memproses berbagai jenis minyak dengan memodifikasi beberapa komponen. Dengan kata lain, alasan itu tidak valid dan terkesan dibuat-buat.
Ada pula penjelasan lain. Sebagian minyak yang kita miliki memiliki kualitas unggul. Harganya tinggi, jadi lebih menguntungkan untuk mengekspor, lalu mengimpor minyak yang lebih murah. Terdapat perbedaan harga.
Namun, setelah dihitung, mungkin hasil analisis Kejagung menunjukkan bahwa impor justru lebih mahal. Hal ini disebabkan oleh tambahan biaya lain yang termasuk biaya transportasi, asuransi, pajak impor, dan perbedaan nilai tukar. Argumen ini tidak dapat dipertahankan.
Keempat, menurut pendapat saya, akar permasalahan yang sebenarnya adalah kendali mafia minyak yang selama ini menguasai pengadaan impor minyak dan bahan bakar. Mengingat kita masih perlu melakukan impor, pegawai Pertamina harus berhadapan dengan mereka. Mungkin pada awalnya, niatan mereka tidak buruk.
Namun, karena takut melawan mafia, mereka terjebak dalam siklus bermain yang merugikan. Kerugian negara yang disebutkan sebesar Rp193,7 triliun memang sangat besar. Tetapi, saya meragukan bahwa mereka mendapatkan keuntungan sebanyak itu. Mungkin hanya sedikit.
Yang keuntungan tetap diraih oleh mafia minyak. Salah satu nama yang terkait adalah MKAR, anak dari sosok terkenal dalam bisnis ini, Riza Chalid.
Nama tersebut hampir tidak tersentuh dalam puluhan tahun terakhir. Sekarang, nama tersebut mulai muncul, meskipun melalui anaknya. Mungkin saja yang bersangkutan masih aman. Kita tunggu perkembangan selanjutnya.y©
No comments
Terima kasih telah berkunjung, silahkan tinggalkan komentar anda.